Jakarta - Diskusi terbatas penyusunan indikator dalam survey indeks kualitas program siaran televisi dilaksanakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan melibatkan berbagai pakar dan ahli pada 9 (sembilan) kategori program siaran. Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menjelaskan bahwa diskusi terbatas ini merupakan upaya KPI menyempurnakan format Survei yang telah berlangsung memasuki tahun ketiga. Dengan mengikutsertakan pakar di berbagai bidang serta praktisi dunia penyiaran, KPI berharap format survey yang disusun dapat memotret lebih utuh tentang persepsi masyarakat akan kualitas program siaran televisi saat ini.

Sembilan kategori program siaran yang akan disurvey adalah: Sinetron/Film, Berita, Talkshow, Infotainment, Religi, Wisata-Budaya, Anak, Komedi, dan Variety Show. Adapun pakar yang turut hadir memberikan masukan untuk penyusunan indikator tersebut diantaranya adalah, Gun Gun Heryanto (The Political Literacy Institute), Yadi Hendriana (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), Reza Indragiri Amriel (Lembaga Perlindungan Anak), Kemal Hasan (Universitas Multimedia Nusantara), Thung Ju Lan (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Mulharneti Syas (Dekan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), Bayu Wardhana (Aliansi Jurnalistik Independen), Alinda Rimaya (Remotivi), Amirsyah Tambunan (Majelis Ulama Indonesia), Kurniati (Yayasan Kita dan Buah Hati), Supina (Akademisi Pariwisata), Bobby Guntarto (Yayasan Pengembangan Media Anak), Luthfi Chumaidi (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) , Wahidin Saputra (Universitas Islam Negeri Jakarta), dan Paulus Widianto (Mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran). Untuk melengkapi diskusi, hadir pula perwakilan dari lembaga penyiaran diantaranya Kompas TV, NET, ANTV, Trans TV dan Trans 7. Sedangkan Komisioner KPI Pusat yang ikut dalam diskusi terbatas adalah Mayong Suryo Laksono, Agung Suprio, Ubaidillah, Hardly Stefano, Nuning Rodiyah, Rahmat Arifin, dan Dewi Setyarini.

Untuk penentuan indikator survey pada program anak, menurut Bobby Guntarto sebaiknya perlu dipikirkan tentang usulan penghilangan adegan kekerasan. “Jangan sampai tayangan anak hanya menunjukkan hal-hal yang normatif, padahal dalam kehidupan sebenarnya banyak penyimpangan dan kekerasan yang hadir,” ujarnya. Dia berpendapat, dalam tayangan anak harus memuat edukasi agar anak belajar untuk tidak melakukan hal-hal yang negatif. Senada dengan pendapat Bobby, Supinah juga menilai ketika pada program anak hanya menampilkan hal yang baik-baik saja, anak-anak tidak belajar menghadapi hal-hal yang menyimpang yang hadir di sekelilingnya. “Termasuk bagaimana menghadapi orang-orang yang jahat, ataupun orang-orang yang memiliki perbedaan, kekurangan serta keterbatasan,” ujarnya.  Selain itu, Supinah sepakat bahwa perlu ada pelabelan usia yang semakin spesifik untuk program siaran anak.

Sedangkan Reza Indragiri Amriel berpendapat untuk program siaran anak, harus mampu menyelami dunia dan cara berpikir anak. “Menakar tayangan anak-anak jangan menggunakan orang dewasa, karena anak-anak juga berhak menyampaikan pendapat dan aspirasinya,” ujar Reza. Selain itu dirinya juga mengingatkan tentang pembatasan LGBT di televisi. Jangan dianggap hal ini sebagai tidak adanya penghormatan,ucapnya. Bagaimanapun juga, usia anak-anak membutuhkan kejelasan opsi jenis kelamin, mana laki-laki mana perempuan, tegas Reza. Terkait program religi, Amirsyah Tambunan dan Wahidin Saputra memberikan masukan diantaranya tentang pentingnya aspek kesadaran penegakan hukum serta menghindari munculnya masalah khilafiyah dalam beragama, baik dalam program siaran agama ataupun program lain yang menggunakan atribut keagamaan.

Sementara itu Ketua IJTI Yadi Hendriana mengkhawatirkan eksistensi program berita di televisi yang pelan-pelan mulai tergeser dengan program lain. “Meskipun program berita hanya digeser ke waktu yang semakin pagi, itu bisa dikatakan mulai mulai hilang,” ujarnya. Yadi juga menyampaikan pendapatnya untuk indikator penilaian dalam survei indeks kualitas program siaran. Pada prinsipnya, Yadi menilai program berita harus menjunjung tinggi prinsip jurnalistik. “Dan jurnalisme harus melakukan verifikasi, bukan talking news,” tegasnya.

Terkait survei secara keseluruhan, Remotivi menyampaikan harapan agar KPI juga membuat riset dan penelitian tentang penyebab rendahnya kualitas siaran televisi, dan langkah regulatif apa yang dapat diambil KPI sebagai regulator penyiaran untuk memperbaiki hal tersebut.  Pendapat Alinda Rimaya dari Remotivi tersebut disetujui oleh Komisioner KPI Pusat Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, Agung Suprio. Menurutnya, KPI akan mengambil langkah lebih lanjut untuk menemukan jalan keluar atas permasalahan kualitas program siaran di Indonesia.

Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidilah berharap survei yang indikatornya dirumuskan bersama-sama ini akan menjadi referensi bagi pengiklan dalam memasarkan produknya di televisi. “Harapan kita, ini menjadi awal untuk mendorong kualitas penyiaran yang lebih baik dan frekuensi digunakan seoptimal mungkin untuk kemaslahatan masyarakat,” pungkasnya.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.