Jakarta –  Membaiknya isi siaran tidak hanya diukur dari menurunnya tampilan atau adegan yang melanggar. Isi siaran yang baik harus juga diimbangi dengan value atau nilai apa yang bermanfaat atau baik bagi masyarakat. Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, disela-sela diskusi yang diselenggarakan Remotivi bertajuk “Kritik terhadap Regulasi dan Penerapan Sanksi KPI Sepanjang 2015” di kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Rabu, 23 November 2016.

Menurut Hardly, menurunnya jumlah tayangan atau adegan yang melanggar memang baik tapi kalau nilai manfaat dari program tersebut tidak ada jadi terasa hambar. Misalnya, sebuah program infotainment yang pernah ditegur KPI terus mereka melakukan perbaikan tapi isi acaranya masih saja sama alias konteksnya tidak memiliki manfaat tidak bisa dikatakan membaik.

“Kami ingin perbaikan isi siaran itu juga dibarengi dengan peningkatan valuenya. Jika nilai atau value dari sebuah program itu penuh edukasi, infonya baik bagi masyarakat serta menginspirasi ini dapat dikatakan berkualitas,” tegas Hardly.

Hardly menyampaikan pihaknya terus mengupayakan dan mendorong lembaga penyiaran untuk melakukan perubahan isi kontennya dengan keberimbangan dua unsur tersebut yakni adegan dan nilai yang baik. Upaya itu mulai dilakukan dengan berbagai cara salah satu dengan pembinaan kepada lembaga penyiaran dengan dialog atau diskusi membangun dan mengingatkan.

Hardly juga mengkaitkan jika sanksi yang diberikan KPI kepada lembaga penyiaran bagian dari instrument pembinaan dan perbaikan. Sanksi ini bisa menjadi bahan masukan kepada industri untuk lebih baik. Pihaknya akan juga membangun relasi ke semua unsur baik itu publik, negara juga industri.

“Kami terus mengarah mendorong tumbuhnya industri yang sehat sekaligus juga isi siaran yang sehat. Kita juga berupaya mendorong adanya keberimbangan dari motif industri agar tidak hanya mengedepankan bisnis tapi juga menegakkan tujuan dari fungsi penyiaran. JIka ini terwujud harapan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang sehat, edukatif, menginspirasi dan aman untuk semua dapat tercipta,” jelas Hardly.

Sementara itu, di tempat yang sama, Pengamat Hukum dan Penyiaran, Sofyan Pulungan menyoroti lemahnya kewenangan KPI dalam menegakkan sanksi penyiaran. Menurutnya, perbaikan isi siaran dapat juga diimbangi dengan kewenangan yang kuat KPI dalam menerapkan sanksi tersebut.

Faktor lemahnya kewenangan KPI yang dinilai Sofyan memiliki korelasi perbaikan konten dikarenakan kewenangan KPI dalam kebijakan perizinan yang dilemahkan. Diambilnya kewenangan KPI dalam bidang itu membuat daya dukung pemberian sanksi menjadi lemah juga. “Ini juga menjadi problem semua lembaga independen,” katanya.

Sebelumnya, peneliti dari Remotivi, Eduard Lazarus dan Gabriel Eriviany, mempresentasikan hasil penelitian mereka terhadap penerapan sanksi yang dilakukan KPI selama tahun 2015. Penelitian yang mengacu pada dokumen rekapitulasi sanksi administrative yang terdapat di website resmi KPI (kpi.go.id) menemukan adanya peningkatan jumlah sanksi KPI sebesar 44% dibanding tahun sebelumnya.

Menurut keduanya, penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu bagaimana KPI melaksanakan wewenangnya dalam memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran. Selain itu, penelitian ini akan membuka jalan mengevaluasi P3SPS untuk menemukan kelemahan dalam aturan tersebut. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.