Makassar – Fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini seperti gaya hidup konsumerisme dan hedonisme, dikhawatirkan menjadi kebiasaan hingga mengubah karakter bangsa Indonesia yang ketimuran. Hal ini ikut diperkeruh dengan maraknya tayangan yang tidak memberi pesan mendidik dan mencerdaskan.

Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis mengatakan, fenomena ini harus dicegah agar tidak semakin parah. Salah satu upayanya melalui perbaikan konten tayangan televisi agar mencerdaskan. Menurut Andre, panggilan akrab Ketua KPI Pusat, semua pihak harus terlibat menciptakan upaya perbaikan tersebut. Kalangan industri, akademisi, dan regulator bahu membahu melakukan perbaikan sesuai dengan kapasitas dan fungsinya. Selain itu, masyarakat harus di literasi agar dapat memilih mana tontonan yang baik dan aman bagi mereka.

“Harus ada draft bersama untuk mendukung terciptanya penyiaran yang cerdas dan ini melibatkan semua elemen masyarakat yang ada. Semua media perlu memberikan konten yang baik dan masyarakat perlu cerdas dan regulator juga bisa menjaga tatanan regulasi yang baik untuk membungkus semuanya agar tercipta media penyiaran yang mencerdaskan,” papar Yuliandre di sela-sela Media Forum yang diselenggarakan IBRAF dan ISKI bertempat di Hotel Arya Duta, Makassar, 11 Oktober 2016.

Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat Dewi Setyarini. Menurutnya, semua stakeholder harus bersatu mewujudkan penyiaran yang mencerdaskan. Stakeholder yang dimaksud Dewi yakni KPI, lembaga penyiaran, akademisi serta masyarakat. “Semua pihak memiliki tanggung jawab guna mewujdkan penyiaran yang mencerdaskan sesuai porsinya masing-masing,” katanya.

Sementara itu, di tempat yang sama, Rektor Universita Andalas (Unand) Sumatera Barat, Prof. Tafdil Husni mengapresiasi survey indeks kualitas siaran televisi yang dilakukan oleh KPI beberapa waktu lalu. Survey tersebut dinilainya tepat karena menggandeng akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk mengetahui tingkat kualitas siaran televisi di Indonesia. “KPI sebagai regulator bersama dengan akademisi memiliki tanggungjawab sama yang sama dalam memberikan edukasi yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan,” imbuhnya.

Komisioner KPI Pusat, Obsatar Sinaga mengatakan, survey yang dilakukan oleh KPI bukan bermaksud untuk menyaingi lembaga rating yang sudah ada. Lembaga survey yang sudah ada memiliki instrumen penelitian sendiri sejak tahun 1976 dan itu berbeda dengan apa yang dilakukan KPI.

Namun harapan dari hasil survey yang dilakukan KPI dapat menjadi cermin semua pihak untuk berkaca tentang kondisi permasalahan penyiaran yang ada saat ini. “Contohnya hasil survey menunjukan infotainmen dan sinetron buruk, apakah kemudian ini akan ditayangkan oleh TV, ini mesti duduk bersama antara dunia penyiaran dengan regulator,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, Hardly Stefano, Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat menilai upaya pihaknya dalam memperbaiki kualitas siaran televisi tak hanya mengandalkan surat teguran semata tapi juga pembinaan.

“Teguran tetap berjalan ketika ditemukan sebuah pelanggaran karena itu aturan yang ada, tapi ke depannya teguran tersebut akan diiringi dengan pembinaan kepada pihak terkait supaya hal ini dapat mewujudkan siaran yang lebih mencerdaskan,” paparnya.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.