Jakarta – Kenapa iklan harus dibatasi atau diatur? Pertanyaan tersebut muncul disela-sela obrolan antara Komisioner KPI Pusat Sujarwanto Rahmat M. Airifin dengan Paulus Widiyanto, Pemerhati Dunia Penyiaran sekaligus orang yang terlibat langsung pembuatan UU Penyiaran No.32 tahun 2002, beberapa waktu lalu. Paulus kemudian menjawab, iklan itu diatur untuk menjamin kenyamanan pemirsa karena frekuensi adalah milik publik, maka pemilik frekuensi harus dijaga kenyamanannya dalam menonton.
“Itu jawaban bapak Paulus, orang yang menggawangi lahirnya UU Penyiaran ketika itu,” ungkap Komisioner Sujarwanto Rahmat M. Arifin kepada peserta Fokus Grup Diskusi (FGD) yang sebagian besar merupakan perwakilan lembaga penyiaran. FGD dengan tema “Merumuskan Kebijakan Implementasi Siaran Iklan 20% di TV”, berlangsung pada Selasa, 16 Agustus 2016, di ruang rapat kantor KPI Pusat.
Cerita dari Wakil Ketua KPI Pusat tersebut merupakan kalimat yang mengawali dibukanya diskusi mengenai iklan pagi itu. Kemudian, menurut Rahmat, hal yang paling mendasar untuk dibicarakan dalam diskusi adalah definisi tentang iklan hingga batasan 20% dalam siaran.
Hal senada turut disampaikan Kepala Sekretariat KPI Pusat Maruli Matondang. Menurutnya, FGD ini diperlukan untuk mencari kesamaan pandangan mengenai definisi iklan yang masuk 20% sekaligus batasannya dalam siaran. “Rumusan dari diskusi ini diharapkan menjadi masukan dalam UU Penyiaran yang baru nanti,” sahut Maruli.
Bambang Sumaryanto dari Dewan Periklanan Indonesia (DPI), salah satu narasumber FGD mengatakan, untuk menyamakan pandangan mengenai batasan iklan dinilainya tidaklah mudah. Pasalnya, cara pandang industri mengenai iklan diukur dari porsi mereka masing-masing. Sedangkan KPI berlandasakan hukum positif.
Menurut Bambang, pihaknya tidak mempersoalkan persentase batasan iklan. Persentase diartikan supaya para pelaku memanfaatkan dengan sehat atau fair. Beberapa negara Asean seperti Malaysia, berdasarkan survey DPI, kebijakan siaran iklannya lebih dari 20%. Bahkan di Singapura batasannya mentok pada angka 23%. “Memang Indonesia bukan yang terkecil juga tidak yang besar,” katanya.
Bambang juga menyoroti batasan 20% untuk iklan tersebut, apakah per hari atau per program karena yang selama ini DPI pahami adalah slot. Menurutnya, perlu dibuat metode pengukuran yang akurat untuk mendapatkan hasil yang tepat.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat periode 2010-2013 Mochamad Riyanto menilai apa yang disampaikan Bambang sejalan dengan pendapatnya. Menurut Riyanto, dalam konteks perspektif hukum harus dilihat secara hati-hati mengenai batasan 20% itu. Jika berhenti pada angka 20 itu, ajaran post positivisme tidak bisa jalan. Padahal, kata Riyanto yang pernah menjabat Ketua KPI Pusat periode 2012-2013, P3SPS yang memasukan pasal iklan dari EPI itu regulasi.
Lebih rinci Riyanto menjelaskan, P3SPS ada dua yakni rule of conduct dan rule of ethic. Meskipun menjadi pedoman tapi bukan satu-satunya. Pada waktu itu, cerita Riyanto, pihaknya membutuhkan moratorium dan ada 3 substansi tekait persoalan iklan yakni pengawasan, konten dan keberadaan sumber daya dalam negeri.
“Itu menjadi isu utama sehingga batasan iklan itu hanya spot. Dan, dulu zaman Pak Sasa masuknya spot. Sebab penafsirannya penggunaan durasi, tidak segmentasi. Blocking time juga tetap bisa dihitung, sehingga ada kejelasan terstruktur pemahaman regulatif dan norma, dan pemahaman konten,” kata Riyanto.
Di tempat yang sama, Komisioner KPI Pusat Agung Suprio dalam presentasi menjabarkan berbagai ketentuan mengenai aturan penyiaran dengan kaitan iklan. Dia pun menjelaskan Pasal 46 dalam UU Penyiaran yang membatasi waktu siar iklan hanya 20%.
FGD yang berlangsung cukup dinamis menghasilkan beberapa kesimpulan yakni kesepakatan mengenai maksud iklan niaga 20% adalah spot iklan. Selain itu, perlu dibentuk task force untuk penentuan mengenai parameter dan klasifikasi iklan (blocking, advertorial dan yang lain). Kemudian, dasar KPI dalam mengklasifikasikan iklan diharapkan dan ditekankan salah satunya pada dampak iklan dari sisi content values. Tidak lupa, KPI Pusat juga mengharapkan pihak lembaga penyiaran menambahkan keterangan data iklan untuk memperkuat argumentasi sebagai masukan. ***