Jakarta –  Program televisi dengan latar belakang cerita seni budaya dan tradisi harus mengikuti aturan serta batasan yang berlaku agar tidak keluar dari konteks hingga terkesan melecehkan. Pentingnya aturan dan batasan ini untuk menjaga nilai budaya dan tradisi tersebut supaya tetap sesuai dan lestari. Demikian disampaikan Anggota Komisi I DPR RI Tuti N. Roosdiono dalam diskusi terbatas dengan KPI Pusat di kantor KPI Pusat, Selasa, 15 Maret 2016.

Menurut Tuti, ada beberapa hal yang patut diperhatikan setiap pengelola televisi sebelum menayangkan program dengan latar belakang seni budaya dan tradisi seperti pesan moral yang disampaikan dalam isi cerita ke publik, tidak melecehkan, berisi pengetahuan yang manfaat, correct (benar atau tidak dibuat-buat), ada runtutan cerita (script) dan tema,  serta mengandung hal-hal yang mendidik.

“Orang yang bertanggungjawab terhadap program tersebut harus paham benar dan bisa memilah mana yang benar sesuai dengan nilai budayanya. Orang ini pun pemikirannya harus baik dan kematanganya dalam mengenal budaya sudah tinggi jadi tidak asal-asalan,” kata Tuti yang aktifitas luarnya berhubungan dengan kebudayaan serta melestarikan wayang orang.

Tuti mencontohkan seni ludruk dari Jawa Timur. Di dalamnya terdapat tahap-tahapan  cerita mulai dari pembukaan, pengenalan tokoh, kemudian sesi serius, lalu sesi guyonan, perang kembang, sampai penutupan yang memuat pesan moral kepada penonton.

Siaran televisi memiliki pengaruh yang luar biasa bagi penontonnya. Karena itu, tambah Tuti, setiap cerita dan lakon yang tampil harus sesuai dengan pakemnya. Jika lakonnya berprilaku tidak pantas dan tidak sesuai dengan cerita dan selalu begitu terus menerus, ini akan tidak baik bagi penonton. Mereka akan beranggapan hal itu jadi lumrah dan boleh ditiru.

“Misalnya pemeran sinden. Dimana-mana pakem sinden itu seorang perempuan tidak boleh seorang pria. Yang saya saksikan di TV ada sinden diperankan pria, itu sangat melecehkan,” jelasnya kepada Komisioner KPI Pusat Agatha Lily, S. Rahmat Arifin, Amirudin, dan Fajar Arifianto Isnugroho yang ikut dalam diskusi terbatas tersebut.

Mengenai kombinasi tari modern dalam cerita berlatar seni dan budaya, Tuti menjawab itu tidak ada bermasalah. Dia menghargai adanya modernisasi gerakan karena memang seni itu berkembang dan jangan sampai stagnan. “Yang penting adalah jangan sampai keluar dari aturan dan batasan yang sudah ada. Pada intinya tontonan budaya itu mendidik yang melihatnya dan mereka jadi belajar dari situ,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Tuti menyatakan mendukung surat edaran  yang dikeluarkan KPI Pusat mengenai larangan  pembawa acara pria berpenampilan perempuan yang dikeluarkan akhir Februari 2016. Tuti juga prihatin dengan isi tayangan televisi yang dinilainya sudah melenceng dari etika dan tujuan penyiaran. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.