Jakarta – Perubahan UU Penyiaran memasuki babak-babak akhir untuk ditetapkan. Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI Hanafi Rais, pihaknya berencana akan menyelesaikan perubahan UU tersebut menjadi UU Penyiaran baru di tahun ini, 2016. “DPR berupaya dapat mengesahkan revisi UU Penyiaran menjadi UU inisiatif pada masa sidang tahun 2016 ini, selanjutnya sah dibahas bersama pemerintah,” kata politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) pada diskusi “Quo Vadis Penyiaran Kita” bertajuk “Mengawal Revisi UU Penyiaran yang Memenuhi Harapan Publik” di ruang rapat Fraksi PAN, Gedung Nusantara I, Senayan, Kamis, 25 Februari 2016  .

Namun, sejumlah persoalan yang belum terakomodasi dalam draft revisi UU Penyiaran patut menjadi catatan salah satunya terkait perkembangan teknologi dan media massa yang begitu massif.

Pakar media Amir Effendi Siregar mengatakan, UU Penyiaran sekarang belum begitu dinamis mengatur hal-hal penyiaran yang sekarang ini berkembang begitu pesat. Pembahasan revisi UU Penyiaran harusnya ada bayangan mengenai kovergensi media. “Dunia ini bergerak begitu cepat. Antara telekomunikasi dan penyiaran saling berkaitan. Saya pikir sangat penting memasukan kata-kata mengenai konvergensi ini dalam UU Penyiaran nanti,” katanya saat dimintai masukan mengenai perubahan UU Penyiaran dalam diskusi tersebut.

Sekarang ini, kata Amir, sudah banyak negara yang mengubah aturan penyiaran menjadi lebih dinamis ketingkat konvergensi. Salah satu negara itu adalah Inggris. Menurut Direktur Eksekutif PR2Media ini, undang-undang konvergensi yang ditetapkan Inggris dapat menyatukan semuanya.

Narasumber diskusi dari kalangan akademisi, Pinckey Triputra menyatakan setuju dengan pemikiran Amir Effendi. Menurut Pinckey yang menjabat Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, persoalan konvergensi harus masuk dalam UU Penyiaran baru dengan maksud menyesuaikan dengan laju perkembangan teknologi dan penyiaran di masa mendatang. “Pemahaman soal broadcasting akan menjadi lebih luar biasa,” katanya.

Salah satu peserta diskusi dari Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) mengungkapkan aturan dalam UU Penyiaran pengawasannya belum merambah siaran-siaran melalui jaringan internet atau streaming. Padahal, siaran melalui streaming yang pengelolaan ada di luar negeri dinilai sangat merugikan Indonesia, baik itu dari finasial maupun isi siaran. “Tidak ada aturan terhadap hal ini,” katanya.

Ke depan, harus ada aturan mengenai siaran melalui streaming. Pengaturan ini, menurut wakil ATVJI, meliputi kewajiban pajak, memiliki badan hukum Indonesia, dan hal terkait lainnya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad mengharapkan UU Penyiaran mendatang harus benar-benar jelas dan tidak menimbulkan ketidakpastian. Bahkan, dalam presentasinya, Idy mengusulkan dalam UU Penyiaran baru memasukan perihal mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan TV streaming atau internet.

"Ini harus menjadi perhatian karena konvergensi media menjadi tantangan dalam regulasi penyiaran mendatang," kata Idy dalam presentasinya. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.