Jakarta – Berbagai sanksi yang dijatuhkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada lembaga penyiaran atas pelanggaran aturan P3 dan SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) dinilai belum membuat lembaga penyiaran tersebut menjadi jera alias kapok. Karena itu, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) DPR RI mendorong penetapan aturan penjatuhan sanksi denda secara jelas di dalam UU Penyiaran yang baru nanti.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari F-PAN, Hanafi Rais mengatakan, pemberian sanksi denda kepada lembaga penyiaran akan memberi efek jera dan hal itu lebih relevan ketimbang hanya pemberian sanksi teguran. 

“Spektrum pemberian sanksi lebih dipersempit lagi. Tidak perlu memberi sanksi teguran satu hingga teguran tiga jika hal itu justru disiasati lembaga penyiaran dengan mengganti nama programnya,” tegasnya di sela-sela diskusi dengan tema “Quo Vadis Penyiaran Kita? Mengawal Revisi UU Penyiaran yang Memenuhi Harapan Publik,” yang berlangsung di ruang rapat F-PAN, Gedung Nusantara I, Kamis, 25 Februari 2016.

Menurut Hanafi, jika denda diberikan dan nilai dendanya disamakan dengan nominal pemasukan iklan dalam program tersebut, hal ini akan membuat lembaga penyiaran berpikir ulang dan tidak akan mengulangi lagi pelanggaran tersebut. 

Efek jera akibat pemberian sanksi denda dianggap Hanafi akan berbanding lurus dengan perbaikan konten tayangan. “Publik banyak yang resah dengan isi siaran. Karena itu, inti semangatnya adalah untuk menyehatkan isi siaran yang banyak dikeluhkan,” jelasnya kepada peserta diskusi antara lain perwakilan lembaga penyiaran, pemerhati media, perwakilan organisasi masyarakat, dan media massa.

F-PAN melihat isi konten televisi banyak dipengaruhi rating. Sayangnya, keberadaan lembaga rating yang ada sekarang tidak dikontrol semacam lembaga auditor. Karena itu, kata Hanafi Rais, pihaknya akan mendorong dibentuknya lembaga audit untuk lembaga rating. “KPI akan kita libatkan bersama-sama dengan elemen masyarakat,” tambahnya.  

Di awal keterangannya, Hanafi menyatakan semangat dasar atas perubahan UU Penyiaran adalah pemanfaatan era digitalisasi. Menurutnya, pelaksanaan sistem digitalisasi akan mengubah tatanan kebiasaan penyiaran yang ada sekarang. Tapi yang paling utama adalah terciptanya atau berkembangnya dua hal pokok yang menjadi tujuan penyiaran yang demokratis yakni keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan.

 “Sekarang ini semangatnya adalah mengatur ulang regulasi atau re-regulasi. Ini juga untuk menjawab keresahan publik atas isi siaran,” katanya.

Hanafi juga menjelaskan bahwa revisi UU Penyiaran ini masih ada di tahap awal. Namun, ia mengharapkan dalam dua kali masa sidang hal ini akan sudah selesai pembahasannya dan dapat diberlakukan segera.

Sementara itu, di tempat yang sama, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad berharap DPR membuat undang-undang yang di dalamnya begitu jelas dan tegas mengenai hal yang prinsip. Salah satu kejelasan itu seperti siapa yang berwenang, KPI atau pemerintah. 

“Perubahan Undang-undang Penyiaran ini merupakan momentum untuk menyelesaikan sengkarut penyiaran di tanah air. Momentun ini juga dapat meningkatkan kualitas isi siaran. Ini demi kebaikan penyiaran kita,” katanya. 

Diskusi yang berlangsung hingga sore itu juga menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi Pinckey Triputra dan praktisi penyiaran Edy Kuscahyanto. ***

 
Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.