“The quality of democracy and the quality of journalism are deeply entwinted.” —Bill Moyers


Mengikuti bagaimana media memberitakan isu skandal rekaman PT Freeport Indonesia, yang kini mungkin sudah bisa kita sebut sebagai “Freeport Gate”, saya tiba-tiba jadi teringat kembali pada buku Neil Postman, Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business (1985). Meski buku itu ditulis ketika industri media belum bertransformasi ke arah integrasi yang bersifat digital seperti sekarang, namun ada satu poin pemikiran Postman yang saya kira tetap relevan hingga kini. Di tengah lautan informasi yang setiap hari membombardir kita, demikian Postman, kita sebenarnya tidak perlu khawatir lagi akan adanya kebenaran yang disembunyikan. Kekhawatiran terbesar kita seharusnya adalah mengenai kemungkinan tidak adanya kebenaran di tengah jutaan informasi yang tidak relevan.

Mereka yang menggeluti kajian media tentunya paham dengan teori “agenda-setting” yang dikemukakan oleh McCombs dan Shaw (1968), bahwa media mempunyai kemampuan untuk mentransfer isu sehingga mempengaruhi agenda dan persepsi publik. Khalayak akan menganggap sebuah isu sebagai penting seturut pada anggapan media. Artinya, apa yang penting dan tidak penting oleh publik sangat dipengaruhi oleh isu apa yang dianggap penting dan tidak penting oleh media.

Dalam kasus “Freeport Gate”, misalnya, perhatian publik hanya tersedot pada urusan gosip politik yang kemudian dipopulerkan oleh media sebagai isu “papa minta saham”, sementara pada saat yang bersamaan mereka meluputkan wide screen-nya, yaitu bahwa ada sebuah korporasi besar di bidang pertambangan yang saking kuat dan berpengaruhnya sehingga dia bisa mendikte elite-elite politik kita untuk memenuhi semua kepentingannya, termasuk untuk diberi keleluasaan, sekalipun keleluasaan itu melanggar undang-undang dan berbagai aturan hukum lain yang berlaku resmi di negeri ini.

Tanpa menyertakan wide screen tadi, media telah membuat publik menjadi bingung dalam memetakan ihwal mana ujung dan mana pangkal. Sehingga akhirnya yang terjadi adalah kita selalu saja meributkan hal-hal di hilir, padahal hal-hal tersebut hanyalah muara dari persoalan yang ada di hulu. Tanpa penyelesaian atas persoalan di hulunya, soal-soal di hilir tadi tidak akan mudah dipecahkan. Atau, kalaupun bisa dipecahkan, tidak akan memberikan benefit yang berarti bagi publik, karena akar persoalannya tak pernah disentuh.

Sebagai institusi yang sering disebut sebagai “fourth estate”, alias pilar keempat demokrasi, di luar eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka di tengah-tengah banyaknya persoalan yang masih membelit lembaga-lembaga pilar demokrasi resmi di negeri ini, kita tentu berharap bahwa media bisa menjadi alat kontrol yang kredibel. Tapi persis di situ, kita harus sama-sama mengakui bahwa mediapun ternyata tidak terbebas dari persoalan yang diidap oleh lembaga-lembaga pilar demokrasi lainnya.

Konglomerasi media yang berkembang paling tidak dalam lima belas tahun terakhir, yang membuat kepemilikan media jadi terkonsentrasi hanya di beberapa gelintir pemilik modal, telah mempersulit media untuk menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi.

Kesulitan itu semakin bertambah besar manakala para pemilik media kemudian juga terjun ke kancah politik  secara langsung. Tak heran, hari ini, ketika secara resmi sebenarnya tidak ada lagi koran atau media partai, sebagaimana yang pernah mengharu-biru industri media di tanah air sebelum dekade 1970-an, kita mendapati bahwa media-media kita justru terlihat sangat partisan.

Konglomerasi media sebagaimana yang terjadi pada satu dekade terakhir bukan hanya membawa tren integrasi dan konvergensi bentuk media, melainkan juga membawa tren kian terintegrasinya industri media dengan partai politik dan terutama dengan “serikat pedagang” yang sebelumnya lebih banyak bermain di belakang layar politik. Dalam posisi itu media bisa kehilangan kredibilitasnya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan publik, karena secara struktural ia menghadapi tuntutan untuk lebih menjadi semacam public relations bagi kepentingan politik dan kepentingan dagang pemiliknya.

Sejak dulu media adalah arena pertarungan kepentingan, dimana para majikan dan serikat dagang telah mengambil peran penting dalam memproduksi isu dan wacana.

Jika kita mengingat lagi ke belakang, pemosisian media sebagai alat kepentingan dagang dan politik secara integratif sebenarnya tidak baru saja terjadi, karena pernah terjadi pada masa kolonial dulu. Pada 1921, misalnya, lahir sebuah organisasi bernama “Ondernemersraad voor Nederlandsch-Indie”. Dalam terjemahan bahasa Indonesia yang digunakan masa itu, nama itu berarti “Dewan Majikan untuk Hindia Belanda”. Ya, organisasi ini adalah bentuk persekutuan kaum majikan atau pemilik modal. Meskipun didirikan di Belanda, anggotanya bukan hanya para kapitalis Belanda, namun para kapitalis besar Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Perancis, dan negara-negara Eropa lain. Persekutuan kaum majikan ini bukan hanya bisa mendikte pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, namun juga bisa mengatur pemerintah Negeri Belanda. Itu menunjukkan betapa besarnya kekuasaan para majikan ini.

Seandainya kita hidup di Hindia Belanda sembilan puluh tahun yang lalu, niscaya kita tidak akan membaca Kompas, Media Indonesia, Jakarta Post, Jawa Pos, atau Koran Tempo, misalnya. Bacaan kita adalah De Locomotief, Java Bode, Soerabajaasch Handelsblad, Nieuws van den Dag, atau AID de Preanger Bode. Surat kabar-surat kabar ini adalah kepanjangan mulut dari serikat para majikan tadi.

Artinya, kita pernah memiliki preseden dimana industri media memang telah jadi arena pertarungan kepentingan dari berbagai serikat dagang, baik asing maupun Bumiputera.

AID de Preanger Bode, misalnya, adalah juru bicaranya para majikan yang menguasai perkebunan teh, karet, dan kina. Soerabajaasch Handelsblad, adalah corongnya para majikan yang menguasai industri gula. Dan Nieuws dan den Dag, misalnya, adalah juru bicaranya para majikan yang menguasai sektor perdagangan.

Itu sebabnya para tokoh pergerakan kita menyebut surat kabar-surat kabar tadi sebagai corong imperialisme, yang kerjanya hanya menghasut untuk mengamankan kantong para majikannya. Ya, kepentingan mereka hanya mengamankan kantong saja, membuat perlindungan terhadap semua bentuk rongrongan yang bisa mengganggu “dividend” para tuan besar tadi.

Surat kabar-surat kabar itu bukan hanya galak terhadap kaum pergerakan, yang propaganda-propagandanya tentu saja sangat mengancam korporasi dan kepentingan para majikan tadi, melainkan juga galak terhadap pemerintah kolonial. Pejabat pemerintah yang tak cakap menyokong kepentingan mereka akan diserang habis-habisan.

Gubernur Jenderal de Graeff, misalnya, suatu kali pernah ditulis Nieuws dan den Dag sebagai “Ga weg, maak plats, Indie heeft krachtiger mannen noodig!”, yang berarti “Hengkanglah, enyahlah, Hindia membutuhkan orang-orang yang lebih bekerja keras!”

Apakah itu artinya de Graeff tak bisa kerja?
 
Tentu saja tidak. Itu artinya de Graeff kurang trengginas dalam menyokong dan mempertebal kantong para majikan tadi.

Bukan hanya memiliki surat-surat kabar di Hindia, mereka juga membangun dan menguasai berbagai lembaga penerangan, yang semuanya berjejaring dengan media-media di luar negeri, seperti The New World dan Le Monde Nouveau. Dengan sokongan industri media itu, para majikan mengamankan kepentingan dagangnya.

Latar belakang itulah yang telah mendorong para tokoh pergerakan kita dahulu untuk menerbitkan media yang mereka kelola sendiri. Itu sebabnya kenapa dulu Soekarno menerbitkan dan memimpin Majalah Fikiran Ra’jat serta Soeloeh Indonesia Moeda, dan Hatta bersama dengan Sjahrir menerbitkan Majalah Daulat Ra’jat.

Pada masa yang lebih awal, Tirto Adisoerjo juga telah menerbitkan dan memimpin beberapa surat kabar dan majalah. Khusus mengenai Tirto, ia sebenarnya bukan hanya tokoh media. Oleh Pramoedya Ananta Toer ia disebut sebagai 'Sang Pemula', karena dari tangannyalah gerakan politik, gerakan ekonomi dan gerakan "pencerahan" (baca: pendidikan) dari kaum Bumiputera pertama kali dikerjakan secara terpadu, sistematis dan modern. Setelah mendirikan Sarekat Prijaji (1906), organisasi modern pertama yang mendahului Boedi Oetomo, dan mendirikan Sarekat Dagang Islamijah (1909) di Bogor, sebuah perkumpulan dagang kaum Bumiputera yang segera berkembang dan memiliki pengaruh kuat, Tirto juga tak kurang mengelola empat buah media, mulai dari harian, mingguan, serta bulanan.

Perkawinan antara gerakan politik, gerakan ekonomi dan pendidikan melalui media inilah yang telah membentuk corak pergerakan di masa sesudahnya. Pers menjadi ujung tombak dari tiga gerakan tadi.

Untuk waktu yang cukup lama, di masa yang lebih kemudian, ketika sarekat dagang tak lagi tampil di muka, digantikan sepenuhnya oleh politik, sebagaimana wajah Sarekat Islam pada zaman Tjokroaminoto, kita memang lebih mengimajinasikan media sebagai identik dengan gerakan intelektual dan politik saja.

Setidaknya itu juga yang mengemuka sejak Proklamasi. Jika di masa pemerintahan Soekarno media lebih kental hadir sebagai alat politik, maka di masa Orde Baru, ketika politik tak lagi jadi panglima, media lebih merupakan arena kegenitan intelektual.

Namun situasi itu agak berubah kembali memang pada awal 1990-an. Seiring tumbuhnya grup-grup konglomerat baru, industri media yang sebelumnya hanya dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha pun akhirnya dibanjiri oleh banyak pemain baru. Kembali menggeliatnya "Islam Politik" pada dekade itu juga berpengaruh terhadap peta industri pers di tanah air.

Meski ini baru pengamatan kasar, saya melihat bahwa sejak itu pers kembali menjadi perkakas penting dari serikat-serikat dagang. Bedanya, kini serikat-serikat dagang itu hadir dalam bentuk grup-grup konglomerat.

Pasca-Reformasi, rusaknya infrastruktur ideologis dalam dunia politik selama masa Orde Baru telah menempatkan serikat-serikat dagang kembali menjadi determinan penting dalam gerakan politik. Karena tidak lagi berporos pada seorang penguasa tunggal, setelah jatuhnya rezim Soeharto kekuasaan politik dan bisnis relatif terdistribusi pada sejumlah serikat dagang, dengan kekuatan yang relatif sama. Itulah yang telah membuat pertarungan di antara mereka jadi demikian sengit.

Saya melihat, kegaduhan politik sebagaimana yang kini diumbar di halaman-halaman media kita, sebenarnya sangat jauh dari apa yang bisa disebut sebagai perang ideologi politik, atau perang gagasan, melainkan lebih kental didominasi oleh perang kepentingan dari serikat-serikat dagang yang sedang berusaha mengukuhkan posisinya tadi.

Sayangnya, perhatian kita sejauh ini ternyata hanya diberikan kepada serikat-serikat dagang yang terjun secara langsung ke dunia politik saja, sebagaimana yang secara mencolok dilakukan oleh keluarga Kalla, atau Bakrie. Sementara, perhatian pada serikat-serikat dagang yang hanya bermain politik di belakang layar tidak banyak diberi perhatian. Padahal, serikat-serikat dagang yang dianggap anonim dalam arena politik itu bisa jadi jauh lebih berpengaruh dan berbahaya daripada serikat-serikat dagang yang berani tampil terbuka di arena politik.

Kembali ke kutipan Moyers di depan, kualitas demokrasi memang berkelindan dengan kualitas jurnalisme. Itu sebabnya, saya sangat mengapresiasi baik Sekolah P3SPS yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini. Bukan hanya lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif yang perlu membenahi dirinya agar kualitas demokrasi kita semakin membaik, namun media juga harus terus memperbaiki dirinya.

Sebagai penutup, sekali lagi media jangan sampai kehilangan obyektivitasnya dan semata-mata disetir oleh kepentingan pemilik modal. Hanya dengan kerja jurnalistik yang obyektif maka kita bisa mengimpikan kegaduhan-kegaduhan yang lebih substantiflah yang akan dikejar dan ditayangkan oleh media. Meminjam Clement Attle, “Democracy means government by discussion, but it is only effective if you can stop people talking.”

 

Disampaikan oleh Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI dalam Pembukaan Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) angkatan 9, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. 16 Februari 2016

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.