Jakarta - Media harus memberikan sanksi sosial pada artis dan selebriti yang bermasalah dengan hukum, terutama yang sudah diberikan vonis pengadilan. Hal itu disampaikan pelawak yang juga politisi, Dedi Gumelar, dalam acara diskusi terbatas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tentang Variety Show, (25/11).  Menurut Dedi, kemunculan kembali artis-artis yang pernah menjadi terpidana atau kasus asusila di layar televisi sebagai pengisi acara, tidak memberikan pembelajaran yang baik pada masyarakat.”Masyarakat dipaksa menerima, karena televisi  kembali membuatnya menjadi idola”, ujar Dedi. Dirinya menyampaikan, jika hal-hal tidak biasa dibuat jadi biasa, dan hal-hal biasa dianggap tidak biasa, maka itu tanda-tanda keruntuhan sebuah peradaban.

Pada diskusi terbatas itu, Dedi menjelaskan tentang kontribusi televisi terhadap pembangunan karakter bangsa. Prinsipnya, ujar Dedi, kalaupun televisi tidak mampu membuat program siaran yang bermanfaat, setidaknya jangan sampai program tersebut merusak dan merugikan bangsa. Dedi yang pernah menjadi anggota DPR RI ini menyampaikan bahwa dekadensi dan teririsnya budaya kita sekarang tidak terasa seperti halnya perang fisik. “Kita sedang mengalami perang budaya yang masuk lewat televisi,” tegasnya. Sayangnya regulasi yang ada tidak siap menghadapi perang budaya tersebut.

Ketidaksiapan itu sebenarnya secara nyata dapat dilihat melalui politik anggaran pemerintah terhadap pengawasan media, khususnya televisi. “Politik anggaran untuk KPI sekarang menunjukkan seberapa besar keberpihakan pemerintah tersebut”, tegasnya.  Dedi menyampaikan kritisi terhadap kewenangan yang dimiliki KPI serta pelaksanaan  regulasi penyiaran yang belum sepenuhnya ditegakkan oleh pemerintah. “Jadi kalau pemerintah sayang pada rakyatnya, KPI harus ditata KPI dengan penguatan anggaran,” tegasnya.

Kepada peserta diskusi yang merupakan pekerja di lembaga penyiaran, Dedi juga menceritakan pengalaman dan kiprahnya di industri televisi sebagai pelawak. Ada banyak perbedaan yang ditemui tentang kualitas entertainer televisi saat ini dibanding saat Dedi merintis karir. “Kompetisi yang demikian ketat menghasilkan seleksi yang juga ketat, namun entertainer yang muncul di layar kaca justru berkualitas”, ujarnya. Hal ini menurutnya berkebalikan dengan kondisi sekarang. Padahal, ujar Dedi, seleksi tanpa kompetensi yang dilakukan televisi sekarang justru membahayakan keberlangsungan televisi itu sendiri. “Ujung-ujungnya, rakyat dan bangsa yang jadi korban,” tegasnya.

Kesimpulan ini, menurut Dedi dapat dilihat dengan rotasi artis pengisi acara di televisi swasta yang itu-itu saja. “Televisi tidak mau ambil resiko mengambil artis-artis baru, cukup gunakan artis yang ternama dan punya jaminan rating tinggi,” tambahnya.

Padahal penggunaan rating sebagai satu-satunya tolak ukur program siaran sangat mengkhawatirkan. Apalagi dirinya memperhatikan bahwa program-program televisi yang menjerumuskan bangsa itu ratingnya tinggi. “Jangan-jangan memang ada konspirasi untuk menghancurkan bangsa ini,” ucap Dedi.

Pada kesempatan itu, Komisioner KPI Pusat koordinator bidang pengawasan isi siaran, Agatha Lily menyampaikan pada peserta, cuplikan tayangan variety show di televisi yang mendapatkan teguran dari KPI. Lily juga memaparkan jumlah program variety show yang mendomasi program di televisi berjaringan, serta pengaduan masyarakat yang cukup tinggi pada program ini. Setidaknya ada sepuluh muatan dalam variety show yang ditemukan KPI tidak sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Diantaranya, konflik dan adu mulut, hedonistik, muatan seksual, atraksi berbahaya, dan konflik keluarga.  Padahal, tambah Lily, dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran hal-hal yang disebut itu jelas-jelas dilarang.

Sementara itu, dalam catatan Rahmat Arifin (Komisioner KPI Pusat  bidang pengawasan isi siaran) sanksi yang diperoleh program variety show disebabkan jadwal tayang yang striping, tayangan langsung serta muatan gimmick yang berlebihan. Rahmat menyarankan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran, produser variety show harus ada naskah siaran yang detil, persiapan dan briefing dari produser yang rinci, serta pengawasan yang ketat dari bagian quality control saat siaran berlangsung. Dengan demikian pelanggaran-pelanggara P3 & SPS pada program ini dapat diminimalisir. 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.