Sapto Anggoro memaparkan materi dalam Dialog Publik Menakar Sistem Rating Indonesia (9/10)

Jakarta - Komisi I DPR RI menilai keberadaan lembaga pemeringkat program televisi harus diatur dalam undang-undang penyiaran yang baru. Karenanya, dalam draft undang-undang saat ini tidak menyebutkan pemerintah menjadi penyelenggara pemeringkatan program televisi.  Hal tersebut disampaikan anggota Komisi I DPR RI, Arief Suditomo, dalam acara Dialog Publik “Menakar Sistem Rating Indonesia” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta, (9/10).

Tentang lembaga rating ini, Arief sepakat bahwa harus ada lembaga rating alternatif. Namun demikian, menurut Arief, yang penting adalah masing-masing pemangku kepentingan penyiaran harus terus bergerak untuk menciptakan program-program yang berkualitas. “Sehingga dapat menunjukkan bahwa kita tidak selalu didikte oleh selera yang rendah,” ujar Arief.

Dalam forum yang membahas soal rating itu, hadir pula Sapto Anggoro sebagai pembicara yang menyampaikan bagaimana isu rating ini berkembang sejak lama. Sapto juga memaparkan tentang jalan yang diambil negara-negara lain dalam menghadirkan rating alternatif.  Sementara itu, Amir Effendi Siregar dari PR2 Media memaparkan tentang mekanisme pengambilan data yang dilakukan oleh lembaga rating. Dari sample yang diambil oleh lembaga tersebut, ujar Amir, terlihat jelas bahwa rating ini didominasi oleh sample dari Jakarta. Hal ini tentu terkait dengan program yang mendapatkan rating tinggi, yang juga bias Jakarta, tambahnya.
Pada kesempatan itu Amir menyatakan bahwa seharusnya lembaga penyiaran publik (LPP) dapat diberdayakan sebagai salah satu cara untuk mengimbangi lembaga penyiaran swasta. Namun sayangnya, ujar Amir, TVRI yang saat ini sebagai lembaga penyiaran publik justru seperti hendak mengikuti jejak lembaga penyiaran swasta.

Tentang LPP ini, Arief sependapat dengan Amir. Menurut Arief, diantara legacy yang ingin ditinggalkan oleh Komisi I adalah memperkuat LPP agar dapat setara dengan industri. Hal ini, ungkap Arief dilakukan dengan cara menyusun undang-undang yang baru tentang LPP, yakni RUU RTRI, serta meningkatkan budget untuk LPP. Terkait hal ini, Arief juga meminta KPI tidak hanya galak pada televisi swasta yang sudah melakukan banyak hal untuk menghidupkan industri penyiaran, tapi juga harus galak pada TVRI yang tidak melakukan apa-apa.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat koordinator bidang kelembagaan Bekti Nugroho memaparkan hasil survey indeks kualitas program siaran periode ketiga yang dilakukan oleh KPI. Bekti berharap, survey yang menghasilkan indeks kualitas program ini dapat dijadikan acuan oleh lembaga penyiaran dalam menilai program siaran yang diproduksinya. Jika dilihat dari hasil survey periode ketiga ini, program-program jurnalistik banyak mendapatkan apresiasi masyarakat, dan dinilai berkualitas. Sementara jika menilik dari data rating yang disampaikan pada pemateri awal, justru program-program berita mendapatkan rating jauh di bawah program non jurnalistik khususnya hiburan. Hal senada juga disampaikan Ketua KPI Pusat Judhariksawan yang mengingatkan kembali tentang kesesuaian program-program siaran dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran. Dirinya berharap, lembaga penyiaran menelaah kembali amanat regulasi penyiaran dan tujuan diberikannya pengelolaan frekwensi oleh negara. 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.