Jakarta - Kegiatan perekrutan terorisme saat ini sudah menggunakan media sosial, siaran video dan medium media lainnya dalam melakukan aksinya hingga perekrutan anggota baru. Bila sebelumnya hanya berbasis ikatan kekerabatan dan komunal, saat ini justru penyebarannya massif melalui media.

Hal itu dikemukakan oleh Kepala Badan Penanggulangan Nasional Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution dalam talk show, "Peningkatan Peran Media Penyiaran dalam Pencegahan Paham ISIS", usai penandatanganan nota kesepahaman antara KPI dan BNPT. Acara yang dipandu oleh Fifi Aleyda Yahya itu juga menghadirkan Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Gun Gun Heryanto, dan Ikang Fawzi. Acara berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, Jumat, 18 September 2015.

Menurut Usman, pendekatan penanggulangan dan pencegahan terorisme oleh negara dalam setiap rezim mengalami perubahan. Pada masa Orde Lama menggunakan pendekatan militer, Orde Baru pendekatan intelijen, dan Reformasi dengan pendekatan hukum. "Pendekatan hukum ini belum mampu menyelesaikan masalah," kata Usman.

Dalam kondisi sosial masyarakat saat ini, menurut Usman, pendekatan yang paling baik dilakukan dengan model pendekatan kultural, budaya, deradikalisasi baik di dalam dan di luar tahanan. Dalam Usman menjelaskan, dalam penanggulangan terorisme juga memperhatikan banyak unsur, baik itu istri dan keluarga terduga/tersangka, pendukung dan para simpatisannya. Menurutnya, dalam penanggulangan lembaganya adalah yang mengurusi bagian kebijakan. "Ini menjadi tugas kita bersama dalam menanggulanginya. Untuk itu kami lakukan kerja sama dengan berbagai pihak sebagai upaya preventif," ujar Usman.

Untuk kalangan media, Usman berpesan, agar dalam peliputan jangan sampai media teledor dalam menyiarkan benih-benih terorisme, baik itu disengaja maupun tidak. Maka untuk kebutuhan pelipuan terorisme, menurut Usman, lembaganya siap menyiapkan narasumber yang kompeten di bidangnya, agar jangan sampai saat peliputan, apalagi dengan model siaran langsung, bila salah narasumber bisa menyesatkan penonton dalam melihat sebuah kasus.

Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad menceritakan, dua tahun lalu, KPI langsung menyikapi sebuah tayangan di televisi yang menghina dasar negara Pancasila. Menurutnya, program siaran televisi dan lembaga penyiaran lainnya harus selesai dari nilai-nilai fundamentalisme dan unsur fanatisme. "Ruang embrio sekecil apapun harus ditutup, kalau dibiarkan akan berkembang," kata Idy.

Dalam penyiaran kasus terorisme, Idy mengatakan, agar media berhati-hati. Ia menuturkan pada Agustus lalu, KPI mengeluarkan surat edaran ke seluruh lembaga penyiaran, agar dalam pemberitaan kasus terorisme lembaga penyiaran jangan malah memprovokasi keberadaannya. Selain itu, Idy juga menyinggung tentang tayangan yang diberi sanksi KPI karena membandingkan keyakinan intra dan antar agama dan bisa itu berakibat pada pengkafiran pihak lain.

Salah satu cara menanggulangi bibit fundamentalisme, menurut Idy adalah edukasi kepada masyarakat melalui literasi media. Literasi yang mendidik masyarakat dalam menerima dan mencerna informasi yang sehat. Menurutnya hal ini sudah dilaksanakan KPI dan masih belum maksimal, karena masih membutuhkan dukungan dari lembaga penyiaran melalui iklan layanan masyarakat agar mengarahkan publik dalam gerakan masyakat sadar media.

Sementara itu pengamat media Gun Gun Heriyanto menjelaskan dengan literasi media masyarakat akan lebih berdaya. Dengan masyakat yang berdaya akan mampu menghadapi segala informasi yang dianggap tidak sehat.

Gun Gun juga mengkritik media dalam sejumlah pemberitaan media dalam kasus terorisme yang terkadang terlalu simplikasi. "Iya, dalam tayangan itu butuh unsur-unsur drama dalam memikat pemirsa. Tapi dalam kasus terorisme pemberitaannya bukan malah menjadi simplikasi. Padahal ada proses di dalamnya. Saya kira media dalam peliputan itu lebih profesional dan proporsional menyampaikannya kepada publik, jangan sampai pemberitaannya menjadi resonansi atas keberadaan terorisme," kata Gun Gun.

Menurut Gun Gun simplikasi peliputan terorisme akibat dari lemahnya media melakukan pemetaan isu. Padahal, menurut Gun Gun, untuk kasus ISIS misalnya, peliputan yang berlebihan justru akan membuat keberadaan ISIS akan menjadi eksis. Ia juga mengingatkan, saat peliputan siaran langsung terorisme, media harus ekstra hati-hati, karena saat yang bersamaan publik semua tertuju ke sana dan jangan sampai informasi yang diterima salah.

Dalam acara itu Ikang Fawzi mengaku senang menerima ajakan preventif dalam penanggulangan terorisme. Menurutnya, masalah itu adalah masalah bersama dan harus melibatkan semua pihak. "Seniman kadang hanya diajak setelah kejadian, jarang diajak sebelum atau kegiatan preventif penanggulangan terorisme," ujar Ikang.

Ikang juga berpesan dalam menanggulangi terorisme agar publik menjaga lingkungan masing-masing. Menurutnya, terorisme bergerak dengan sistem berjejaring, maka masyarakat juga harus saling berkomunikasi satu sama lain. "Kalau ada teman atau tetangga kita yang merasa benar sendiri kalau diajak bicara, jangan ditinggalkan, dekati dia, ajak bicara baik-baik dan perlahan, jangan sampai dia sendirian, karena yang seperti itu mudah disusupi," kata Ikang. 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.