Banda Aceh - Penyelenggaraan penyiaran di kawasan perbatasan antar negara memiliki nilai diplomasi yang strategis dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Untuk itu, berbagai kendala yang dihadapi seperti kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) Penyiaran, keterlibatan publik, serta profesionalitas SDM, harus diatasi dengan adanya terobosan program yang tepat guna antar-stakeholder terkait. Hal ini mengemuka dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) SDM Penyiaran di Kawasan Perbatasan Antar-Negara yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Banda Aceh (14/4).

Dalam acara Bimtek tersebut, hadir sebagai pembicara Komisioner KPI Pusat Azimah Subagijo, Amiruddin, Danang Sangga Buwana, dan Komisioner KPI Aceh Said Firdaus. Selain itu KPI juga menghadirkan praktisi penyiaran di daerah perbatasan, Widhie Kurniawan yang merupakan perintis Studio Radio Perbatasan RI di Entikong. 

Secara khusus Said Firdaus mengakui bahwa ketersediaan anggaran KPI Aceh untuk pembinaan bagi lembaga penyiaran di kawasan perbatasan masih minim. Namun demikian, dirinya melihat adanya peluang kerjasama dengan pemerintah-pemerintah daerah untuk menjadikan lembaga penyiaran di daerahnya menjadi lebih berkembang dan professional. Said mencontohkan untuk wilayah Sabang yang kawasan lautnya berbatasan dengan India, Srilanka, juga Malaysia. “Luberan siaran dari radio berbahasa China dan India masuk ke Sabang,” ujarnya. Sedangkan radio yang bersiaran di Sabang hanya Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Suara Sabang dan RRI Sabang.

Bahkan, ujar Said, LPPL Suara Sabang telah dijadikan proyek percontohan untuk siaran radio di perbatasan.  Proses perizinan untuk radio dan televisi di kawasan perbatasan memang sudah dipercepat. Bahkan KPI Aceh juga membina hukungan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk membantu pengelolaan lembaga-lembaga penyiaran, diantara melalui pembangunan infrastruktur jalan untuk memudahkan investasi, serta bantuan pengadaan perangkat-perangkat siaran.

Menurut Said, KPI Aceh menyadari betul bahwa kawasan perbatasan antar negara adalah beranda, wajah orang Indonesia.  Untuk itu, siaran yang ditangkap masyarakat di kawasan tersebut haruslah mencerminkan masyarakat Indonesia.

Azimah sepakat bahwa seluruh stakeholder harus berkoordinasi dalam menangani masalah penyiaran di kawasan perbatasan. “Harus diakui, saat ini banyak lokasi di daerah perbatasan yang tidak dapat menerima siaran, atau blakspot,” ujar Azimah. Sementara siaran asing dari negara tetangga justru meluber demikian banyaknya. Padahal, seharusnya sebagai wilayah terdepan negara, siaran di kawasan perbatasan menampilkan wajah Indonesia yang sesungguhnya.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.