Jakarta - Sistem penyiaran nasional pada dasarnya memiliki prinsip desentralisasi. Hal itu ditunjukkan dengan adanya aturan mengenai sistem siaran jaringan dalam undang-undang penyiaran. Karena itu, pemegang waralaba penyiaran diperkirakan akan kesulitan membentuk cabang atau jaringan mengingat adanya persyaratan administrasi dan teknis yang cukup ketat dalam penggunaan frekwensi untuk penyiaran free to air. Selain itu, prinsip perizinan penyiaran di Indonesia adalah kontekstual-lokalistik, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini dikemukakan oleh anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Amiruddin, dalam acara Diskusi Terbatas tentang Pengaturan Waralaba (Franchise) di bidang Penyiaran, (5/2).

Selama ini sistem waralaba, khususnya untuk merk asing, sudah menjadi fenomena bisnis baru yang berkembang di Indonesia.  Praktek waralaba yang dikenal adalah untuk toko-toko retail, usaha makanan dan minuman, apotek dan perhotelan. Namun semua praktek waralaba tadi merupakan usaha privat, dan belum ada pengaturan waralaba untuk jasa penyiaran. Menurut Azimah Subagijo, Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, saat ini praktek waralaba sudah masuk ke dunia penyiaran. Padahal penyiaran adalah ranah publik karena menggunakan frekwensi yang merupakan sumber daya alam terbatas. “Tentu dampak yang diakibatkan dari waralaba penyiaran berbeda dengan waralaba di bidang privat, mengingat pengaruh yang ditimbulkan penyiaran sangatlah besar dan strategis”, ujar Azimah

Amiruddin memahami praktek waralaba penyiaran sebagai salah satu usaha memenangkan persaingan bisnis mengingat beberapa keunggulan bisnis waralaba, diantaranya meminimalkan resiko gagal usaha dan merk usaha yang sudah lebih dikenal oleh masyarakat. Namun demikian, jika melihat dari aturan yang ada, terdapat larangan pendirian lembaga penyiaran asing di Indonesia. Sedangkan mengenai konten siaran asing, dalam regulasi penyiaran, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 42 tahun 2009.

Untuk itu KPI mendorong pemerintah untuk membuat aturan yang lebih khusus tentang waralaba asing di penyiaran ini. “Agar keuntungan dalam bisnis waralaba tetap diperoleh, tapi kerugiannya dapat dihapus”, ujar Azimah. Misalnya kerugian tersebut adalah kontrol yang sangat besar dari pemberi waralaba yang sangat besar, karena tidak ingin brand yang dimilikinya rusak atau tidak mengikuti standar waralaba pusat. “Mungkin untuk waralaba retail, hal tersebut wajar. Namun jika menyangkut penyiaran, hal ini akan berpengaruh dengan ketahanan nasional dan kondisi sosial masyarakat”, tegas Azimah.

Hal serupa juga diusulkan oleh anggota Komisi I DPR RI, Elnino M Husein Mohi. Menurutnya, harus ada terobosan aturan untuk menutup lubang regulasi terkait waralaba asing di dunia penyiaran ini. “Kenapa Indonesia tidak belajar dari pemerintah China untuk memproteksi warganya dalam serbuan informasi asing”, tanyanya. Meski tidak perlu mengadopsi secara utuh kebijakan negara Tirai Bambu tersebut, seharusnya Indonesia dapat lebih moderat sehingga informasi yang masuk tidak kebablasan. Bahkan Elnino menilai wilayah udara Indonesia sebenarnya sudah tidak ada lagi.

Elnino menyarankan kalau memang menunggu revisi Undang-Undang Penyiaran dinilai memakan waktu yang lama, KPI dapat mengusulkan diterbitkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden untuk mengatur lebih rinci soal waralaba asing di penyiaran.  Usulan ini pun disambut baik oleh Brigjen Abdul Hafil Fuddin perwakilan dari Kementrian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, yang hadir memberikan materi tentang Respon Pemerintah Berkenaan Ekstensifikasi dan Efektivitas Clearing House atas Pengawasan Unsur Asing dalam Penyiaran Indonesia.

Dalam diskusi tersebut hadir pula komisioner KPI Pusat lainnya, Danang Sangga Buwana, KPI Daerah Jawa Tengah, KPI DKI Jakarta, KPID Gorontalo, serta perwakilan dari Kementerian Luar Negeri. Azimah berharap, jika regulasi tentang waralaba asing di penyiaran ini sudah ditetapkan, lembaga penyiaran yang sudah terlanjur bersiaran dapat ditinjau ulang agar dapat sesuai dengan regulasi.  Sejalan dengan itu, Amiruddin juga menganggap kajian tentang waralaba asing di penyiaran ini untuk melindungi kepentingan nasional, kepentingan usaha penyiaran dalam negeri, serta  kepentingan publik.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.