Jakarta - Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nasional (Unas) Jakarta menyelenggarakan seminar jurnalistik dengan tema “Menguji Kapabilitas Frekuensi Publik dalam Pemilu 2014, Antara Realitas dan Harapan”. Adapun pembicara seminar, yakni Komisioner KPU Pusat Azimah Subagijo, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando, Dosen Ilmu Komunikasi Unas Sekarwati, dan Hedi dari Metro TV.

Dalam seminar itu Azimah menerangkan, dari evaluasi KPI Pusat terhadap siaran pemilu legislatif (Pileg) 2014, masih banyak peserta pemilu menggunakan media televisi sebagai medium kampanye, bila dibandingkan jenis media lain. Ini tidak lain karena siaran televisi bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. 

Saat pelaksanaan Pileg kemarin, KPI menegur lembaga penyiaran yang dianggap melanggar unsur kampanye di media televisi. “Sebelum pelaksanaan Pileg kemarin, KPI menegur 6 lembaga penyiaran. Tapi saat itu, KPI dipanggil oleh Komisi I DPR RI. Kami dianggap melampaui wewenang dan diminta koordinasi dengan lembaga penyelenggara dan pengawasan pemlilu,” kata Azimah di Aula Unas Lantai 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa, 13 Mei 2014.

Koordinasi pengawasan iklan kampanye dan iklan politik di media penyiaran terbentuk  pada 28 Februari 2014 dalam bentuk Surat Keputusan Bersama empat lembaga, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), KPI, dan Komisi Informasi (KI) tentang Kepatuhan pada Ketentuan Pelaksanaan Kampanye Pemilu Media Penyiaran. 

Surat Keputusan Bersama itu mengatur tentang aturan iklan di media penyiaran, dari jumlah iklan per hari hingga durasi iklan untuk masa kampanye. “Sebelum masa kampanye saja banyak yang melanggar. Demikian juga saat masa kampanye, lebih banyak yang melanggar,” ujar Azimah.

Menurut Azimah, KPI dalam pengawasan iklan kampanye pemilu berwenang memberikan teguran kepada lembaga penyiaran yang menanyangkan ikla yang dianggap melanggar aturan. Sedangkan teguran atau hukuman ke partai peserta pemilu menjadi bagian dari Bawaslu untuk dilaporkan ke KPU. 

Banyaknya pelanggaran iklan kampanye, menurut Azimah, sudah mendapatkan teguran atau sanksi adminitrasi. Mulai dari pengurangan durasi hingga penghentian acara. “KPI dalam wewenanganya dari undang-undang hanya bisa memberikan teguran. Mencabut siaran menjadi wewenang Kominfo, tapi KPI tetap mecatat semua pelanggarannya dan akan dijadikan pertimbangan saat lembaga penyiaran memperpanjang izin penyiaran,” papar Azimah.

Jelang pelaksanaan pemilu presiden ada 9 Juli nanti, KPI juga sudah berkordinasi dengan empat lembaga untuk pengawasan iklan kampanye calon presiden di media penyiaran. Azimah berharap, lembaga penyiaran independen dalam siaran dan pemberitaannya, serta memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. “KPI mengapresiasi kepada lembaga penyiaran yang menayangkan iklan layanan masyarakat tentang teknis mencoblos atau tentang pemilu,” terang Azimah.

KPI bukan hanya mengurus tentang siaran pemilu, menurut Azimah, semua hal yang terkait dengan penyiaran juga menjadi wewenang KPI dalam pengawasannya. Azimah berharap, mahasiswa dan masyarakat ikut aktif mengawasi penyiaran, karena efek penyiaran mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sedangkan pembicara Ade Armando banyak menjelaskan tentang pemilih Indonesia saat ini yang sudah rasional dalam menentukan pilihan. Tidak mudah dipengaruhi iklan televisi. “Hasil Pileg kemarin membuktikan itu. Siapa yang iklannya paling banyak? Bukan pemenang kan. Ingat pemilih kita itu sudah rasional dalam memilih dan satu lagi, jenis pemilih kita adalah jenis peilih yang royal pada partai tertentu,” ujar Ade.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.