Jambi - Salah satu rangkaian acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2014 adalah peringatan puncak Hari Penyiaran Nasional yang (Harsiarnas) ke-81. Dalam malam puncak Harsiarnas juga menyajikan dialog penyiaran dengan narasumber Ketua Komisi 1 DPR RI Mahfudz Siddiq, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Hardijanto, dan sutradara Garin Nugroho.

 

Mahfudz Siddiq mengatakan, KPI memiliki peran strategis untuk mencerdaskan masyarakat melalui penyiaran. “KPI bertugas untuk memastikan penyiaran kita sesuai dengan budaya masyarakat, dan bagaimana memacu lembaga penyiaran agar dapat menciptakan program siaran yang memajukan harkat martabat,” kata Mahfudz dalam dialog peringatan Harsiarnas di Novita Hotel, Jambi, Selasa, 22 April 2014.

 

Peran KPI ini, menurut Mahfudz, tertuang dalam Undang-undang Nomer 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Saat ini Undang tersebut masih dalam tahap revisi di DPR. Dalam konteks isi siaran, Mahfudz menjelaskan, tugas dan wewenang KPI harus bisa melakukan penyesuaian siaran apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

 

Lebih lanjut Mahfudz menerangkan, saat ini masyarakat semakin pintar dalam menentukan keputusan dan kebutuhannya akan siaran yang informatif, mendidik, dan menghibur. Untuk mengimbangi itu, menurut Mahfudz, KPI tidak bisa berperan sebagai wasit, karena mengurus isi siaran dari lembaga penyiaran saat ini tidak akan pernah selesai.  

 

“Kalau KPI terus-menerus hanya sebagai wasit, akan kelelahan, iya kalau sempritannya didengarkan, kalau tidak, bagaimana?” ujarnya. Dalam kondisi saat ini, bagi Mahfudz, posisi KPI harus berperan sebagai coach atau manajer yang mengkondisikan masyarakat yang sadar dan kritis terhadap media, termasuk penyiaran.

 

Sedangkan bagi sutradara Garin Nugroho, penyiaran saat ini adalah puncak dari industri televisi. Dia mencontohkan, bagaimana pemilik televisi ikut terjun ke politik dan menggunakan medianya untuk menggalang dukungan. Selain itu, menurut Garin, saat ini KPI berada pada era di mana politik, bisnis, dan hiburan menjadi satu.

 

“Ini baru pertama kali terjadi di Indonesia. KPI saat ini hidup dalam puncak industri televisi. Semua bangsa akan mengalami ini. Dan saya kira ini tidak mudah dikerjakan KPI sendirian dalam mengedukasi masyarakat terkait penyiaran ini,” kata Garin menerangkan.

 

Lebih lanjut Garin menjelaskan, dengan kondisi dan tantangan yang ada, KPI diharapkan bisa mengelola modal sosial masyarakat. Menurut Garin, ini terkait dengan wewenang yang diberikan Undang-undang kepada KPI. Dia mencontohkan, kewenangan KPI tidak sama secara hukum seperti yang diberikan kepada KPK.

 

Sejak reformasi, menurut Garin, banyak lembaga kontrol negara independen seperti KPI yang memiliki gejala serupa. “Karena kebijakan KPI belum seperti KPK, maka gunakan modal sosial masyarakat. Ini adalah solusi bagi abad ini dan sudah digunakan banyak lembaga dan negara. Jadikan modal sosial itu sebagai juru bicara. Salah satunya dengan mengajak masyarakat sebagai penjaga bersama akan siaran kita. Dengan cara itu KPI bisa dibumikan,” papar Garin yang disambut riuh tepuk tangan penonton yang hadir.

 

Bagi Garin, masyarakat Indonesia saat sudah menjadi masyarakat televisi. Menurutnya, proses menjadi masyarakat televisi ini mengalami lompatan-lompatan yang tidak sesuai dengan jalurnya. Garin mencontohkan fase literasi yang belum tuntas, dari masyarakat penutur baru ke masyarakat dengan budaya membaca, kemudian ke budaya nonton.

 

“Tapi dalam masyarakat kita ini loncat. Langsung ke masyarakat penonton. Nah, “KPI saat ini hidup dalam era paling menantang. Kalau KPI bisa menghidupkan sadar media, kritis terhadap konten siaran yang kurang berkualitas, maka para produser televisi akan malu membuat acara yang jelek,” katanya.

 

Menyikapi soal buruknya kualitas program acara televisi, Hardijanto menjelaskan, sebenarnya tidak ada masalah dalam perjalanan seperempat abad televisi swasta di Indonesia. Namun satu hal yang menjadi ganjalan terbesar, saat ini industri penyiaran kekurangan penulis naskah dan sutradara handal.

 

Mengenai revisi Undang-undang Penyiaran, Hardijanto berharap, undang-undang itu nantinya harus aplikatif, ada kepastian hukum, dan memiliki keseimbangan peran antara regulator, industri dan masyarakat.

 

Malam puncak peringatan Harsiarnas ini ditutup dengan pemberian penghargaan untuk Harry Wiryawan sebagai Penggagas Hari Penyiaran Nasional, Pemerintah provinsi Kalimantan Selatan sebagai lembaga pemerintah yang peduli terhadap pengembangan program literasi media kepada masyarakat dan kepada Yayasan Pengembangan Media Anak sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang selalu menaruh perhatian terhadap program-program acara khusus anak. [SIP]

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.