Cirebon- Indonesia mengalami ketidakhadiran atas tiga hal yang dibutuhkan sebuah negara untuk maju dan berkembang. Tiga hal itu adalah ketidakhadiran kepemimpinan, kejujuran dan kepercayaan. Untuk itu, dibutuhkan revitalisasi media penyiaran menghadirkan tiga hal tersebut. Demikian disampaikan Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR-RI, dalam acara Diskusi Publik Daerah dengan tema Media Penyiaran sebagai Sarana Pendidikan Bagi Masyarakat ,(17/7).
Revitalisasi media penyiaran juga diperlukan untuk menyeimbangkan seluruh peran dan fungsi lembaga penyiaran sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh Undang-Undang Penyiaran. Sehingga, masyarakat juga mendapatkan manfaat yang sangat optimal dengan kehadiran media penyiaran di tengah mereka.
Sementara itu, komisioner KPI Pusat Azimah Subagijo menyampaikan peran penting media dalam mengedukasi masyarakat. Selama ini sudah banyak orang yang memanfaatkan media, khususnya penyiaran, menjadi sarana pembelajaran. Namun demikian, harus disadari, pembelajaran ini pun ada dua jenis, yang baik dan buruk. Azimah menyontohkan kasus pembobolan ATM Bank yang ditayangkan modusnya di televisi, ternyata menginspirasi masyarakat yang punya niat jahat untuk melakukan tindakan kriminal serupa. Untuk itu, ujar Azimah, media penyiaran
Media penyiaran ini, menurut Mahfudz, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi masyarakat seharusnya bersyukur karena banyaknya media penyiaran di sekitarnya menjadi berkah untuk mempermudah komunikasi antas masyarakat. Namun di sisi lain, media pun bisa menjadi musibah kalau program siarannya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam kesempatan dialog tersebut, Ketua KPID Jawa Barat, Neneng Athiatul Faiziyah menyampaikan permasalahan penyiaran di Jawa Barat. Menurutnya, Jawa Barat memang memiliki potensi penyiaran paling besar se-Indonesia. Terbukti dari 2300-an lembaga penyiaran yang berizin, 1300 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Hal ini sangat wajar, ujar Neneng, mengingat jumlah penduduk Jawa Barat memang terbesar se-Indonesia, hingga 49 juta orang. Namun demikian, Neneng berharap kehadiran muatan lokal di lembaga penyiaran harus dirasakan oleh masyarakat. Saat ini, dirinya merasakan betul, tergerusnya karakter bangsa dengan serbuan budaya luar yang masuk lewat penyiaran.
Muatan lokal sendiri, menurut Neneng, bukan sekedar masalah tari-tarian dan kuliner lokal. Ada banyak unsur lain yang bisa dihadirkan di ruang siar masyarakat, terkait muatan lokal. Kewajiban muatan lokal ini menurut perwakilan dari Radio Prima FM, dari Haurgeulis Indramayu, memang mengakomodir keinginan masyarakat banyak. Namun bagi lembaga penyiaran, menghadirkan muatan lokal tidak menjanjikan secara ekonomis. Sebagai contoh, program Tarling di radio tersebut, ternyata digemari oleh pendengar dengan usia 50 tahun ke atas. Meskipun ada pendengar, namun untuk kalangan usia tersebut, ternyata tidak mengundang pengiklan yang strategis.
Dalam diskusi yang juga dihadiri lembaga penyiaran dari Indramayu, kota dan kabupaten Cirebon itu, banyak memberikan masukan bagi KPI dan juga Komisi I DPR RI. Diantaranya kembali mewajibkan relay dari RRI pada setiap peringatan hari-hari nasional, guna menumbuhkan lagi rasa nasionalisme di tengah masyarakat.