Masih ingatkah kita tentang sengketa pulau Sipadan dan Ligitan? Sebuah peristiwa menyakitkan bagi eksistensi kedaulatan NKRI dalam perebutan perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia melalui International Court of Justice pada Desember 2002. Fakta itu hanyalah satu dari gunung es permasalahan perbatasan negara yang tak kunjung usai. Sebut misalnya, sengketa blok laut Ambalat di Sulawesi yang terus berpotensi mengalami gejolak. Peristiwa mutakhir, penanaman mercusuar di Tanjung Datu oleh negara tetangga yang memicu konflik. Ini adalah urusan negara untuk memperkokoh keutuhan NKRI. Dimana kehadiran negara?
Tanpa berpretensi menyulut sentimen politik antar negara, tulisan ini hendak mengonstruksi ulang betapa pentingnya merias perbatasan negara sebagai pengukuhan komitmen para pasangan calon presiden-wakil presiden (Capres-cawapres). Bermunculan problem perbatasan karena negara belum sepenuhnya hadir dalam denyut kehidupan mereka.
Mengamati debat Capres jilid III (22/06/2014), saya merasa ada persoalan paradigmatik yang masih melekat pada kognisi para capres dan para tim pemikirnya. Baik Prabowo maupun Jokowi masih terframe pada paradigma terpusat (centralized paradigm). Paradigma ini lantas menggiring cara berpikir bahwa semua persoalan harus diselesaikan di Pusat, selain standarisasi pembangunan yang harus dibangun dari pusat pula. Hal inilah yang kerap menegasi pembangunan daerah perbatasan.
Adagium yang sering kita dengar bahwa ‘perbatasan adalah muka (wajah depan) negara’ hanya menjadi pemanis bibir semata. Padahal ibarat rumah, perbatasan niscaya menjadi teras (front-yard) bagi eksistensi negara, bukan sebaliknya malah menjadi dapur (backyard). Pendekatan front yard ini telah dijadikan pijakan negara tetangga, sehingga eksistensi dan keadulatan mereka semakin kuat, berbanding terbalik dengan Indonesia.
Absennya negara di daerah perbatasan dalam beragam pembangunan sosial, budaya ekonomi dan politik, berdampak pada munculnya beragam persoalan krusial, diantaranya buruh migran tak terdokumentasi (undocumented migrant workers), pembalakan hutan (illegal logging), penyelundupan (smuggling) dan human trafficking, ketertinggalan pembangunan, ketegangan di perbatasan dan belakangan adalah masalah terorisme transnasional (transnational terrorism) yang mengusik kestabilan NKRI. Di sisi lain, kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah karena belum meratanya pembangunan di daerah perbatasan mempengaruhi tingkat pemahaman bela negara (nasionalisme) untuk menghadapi ancaman yang dapat membahayakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.
Penduduk Indonesia yang tinggal di perbatasan mengalami permasalahan kehidupan yang kompleks. Disamping secara fisik mereka tinggal amat jauh dan terpencil dari Ibukota negara di Jakarta, tidak jarang mereka-pun tinggal jauh dan terisolir dari ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dan ibukota propinsi mereka sendiri. Sebaliknya, mereka berjarak amat dekat dengan negara tetangga. Bahkan, memiliki bahasa, budaya dan ciri-ciri fisik yang hampir sama dengan penduduk di negeri tetangga.
Namun kesamaan ciri-ciri fisik ini tidak menjamin ada kesamaan tingkat kesejahteraan dan strata ekonomi antara warga dua negara yang berbatasan. Tidak sedikit WNI di perbatasan hidup serba kekurangan dengan akses terhadap sumber daya-sumber daya ekonomi yang sulit dan terbatas jumlanya. Berbanding terbalik dengan masyarakat Negara tetangga yang hidup serba berkecukupan dan daerah perbatasan yang telah sedemikian cantik dirias oleh pemerintah mereka.
Di saat yang sama, hampir semua produk-produk rumah tangga (consumer goods) berasal dari negara tetangga. Masyarakat juga terbiasa menggunakan dan berjual beli produk asal negara tetangga termasuk gula pasir sampai dengan gas elpiji. Hal ini tentu semakin menggerus ikatan nasionalisme, karena masyarakat merasa tidak butuh dan tidak dibutuhkan oleh ibu pertiwi sendiri, akibat absennya Negara di wilayah perbatasan. Di titik inilah penting mengingatkan para calon pemimpin negeri ini untuk hadir dalam beragam program revitalisasi pembangunan wilayah perbatasan.
Martin Pratt dalam Boundary-Making, Challenges & Opportunity (UK: 2009), menyebut bahwa problema pokok wilayah perbatasan berkaitan dengan kekuasaan (border), ruang (state) dan jarak (distance). Konstruksi sosial tentang perbatasan, ditentukan oleh bagaimana persepsi kekuasaan yang berada di pusat memandang dari jarak tertentu dan kemudian memberlakukannya sebagai sebuah ruang yang tidak hanya bersifat geografis tetapi juga bersifat sosial dan politik, hubungan kekuasaan yang bersifat hirarkis, superior-inverior, pusat-pinggiran, juga persoalan inclusion-exclusion.
Ketidakhadiran negara di perbatasan memosisikan Indonesia sebagai sesuatu yang ‘asing’ bagi masyarakat setempat. Artinya, ‘asing’ itu ternyata tidak ditentukan oleh mereka yang berada di perbatasan, melainkan oleh kita yang berada di pusat kekuasaan. Negara harus hadir, dan para Capres niscaya memikirkan cetak biru (blue print) pembangunan perbatasan negara. Diakui memang perhatian negara terhadap wilayah perbatasan sudah mulai meningkat, namun masih jauh panggang dari api. Penduduk di wilayah perbatasan masih bernasib sama.
Penyiaran Perbatasan
Diantara wujud pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politik di daerah perbatasan adalah dengan penyediaan akses informasi yang memadai tentang NKRI, terutama untuk diorientasikan memupuk semangat nasionalisme. Masalahnya, lembaga penyiaran selama ini enggan menyoroti daerah perbatasan dalam program siarannya, mengingat rendahnya tingkat provitabilitasnya bagi industri media. Karena itu, dorongan niscaya dilakukan oleh pemimpin yang akan terpilih lima tahun mendatang untuk mendorong para investor dan pengusaha beriklan sebanyak mungkin terkhusus program siaran perbatasan.
Eksistensi penyiaran perbatasan, selain memperkokoh nasionalisme, juga akan memperkuat posisi diplomatis NKRI terhadap negara tetangga. Sehingga frekuensi sebagai aset negara yang terbatas harus dioptimalkan di perbatasan negara, agar tidak terjadi interferensi oleh sairan asing yang akan memperlemah kedaulatan NKRI.
Berdasarkan pantauan Komisi Penyiaran Indonesia, ditemukan luberan siaran asing (spill over) yang masih banyak didengar dan ditonton oleh masyarakat setempat dalam durasi yang panjang dan sudah berlangsung lama. Kondisi ini dikhawatirkan berpotensi mengikis jiwa nasionalisme. Selain itu, spot iklan negara asing yang masuk secara terus–menerus berpotensi menggerus ekonomi dalam negeri di wilayah perbatasan antar negara.
Akhirnya, kita berharap agar pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih nanti memahami bahwa konstruksi sosial wilayah perbatasan merupakan sebuah anyaman perubahan sosial dan kebudayaan sebagai wujud interaksi dinamis antara identitas dan ruang bernegara, sehingga menuntut optimalisasi dan revitalisasi pembangunan di segala sektor kehidupan. Senada dengan apa yang dikisahkan dalam justifikasi ilmiah berjudul Centering the Margin: Agency and Narrative in Southeast Asian Borderlands (Horstmann dkk: 2006), yang membalikkan persepsi bahwa dinamika sosial di perbatasan justru menentukan kelangsungan negara dan bangsa di masa depan. Kita tunggu!
Danang Sangga Buwana
Komisioner KPI Pusat
Koran Sindo, 27 Juni 2014