Debat Capres-Cawapres pada 9 Juni lalu yang disiarkan secara live di beberapa stasiun televisi ternyata menyedot animo masyarakat secara luas. Hal ini terbukti dari tingginya rating-share program debat tersebut dibandingkan dengan program lain bernuansa hiburan.
Data dari lembaga rating, Nielsen menyebut program debat Capres di SCTV misalnya, mendapatkan rating share (4.5/19.3), melebihi program lain pada jam yang sama semisal Tukang Bubur Naik Haji di RCTI (3.2/13.9), YKS di TransTV (2.3/10.0), Indonesia Lawak Klub di Trans7 (1.3/6.1). Tingginya jumlah pemirsa program debat capres cawapres ini, selain menggambarkan betapa bangsa Indonesia mengharapkan pemimpin baru yang berintegritas, sekaligus menepis anggapan tentang apatisme masyarakat terhadap proses kepemimpinan bangsa ini.
Demokrasi Substantif
Ditakar dari aspek demokrasi, debat Capres-Cawapres bermakna mendalami kualitas pasangan capres-cawapres yang diusung partai politik (parpol) agar pemilih tidak lagi memilih kandidat semata-mata karena popularitas. Debat juga menjadi gambaran visi misi capres-cawapres dalam menjawab problematika kebangsaan mutakhir.
Di titik ini, Debat menjadi sarana efektif bagi penonjolan domain programatik, ketimbang pencitraan semata. Sebagai ikhtiar membangun demokrasi substantif, debat dilakukan untuk mengetahui program, visi dan misi kandidat. Sebelum menjadi pasangan terpilih, capres-cawapres akan diapresiasi oleh masyarakat sejauhmana perumusan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) yang mereka buat. Kondisi ini memungkinkan masyarakat untuk melakukan komparasi kontekstualitas program antar calon yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan publik.
Debat juga berfungsi menakar kualitas dan kapabilitas pasangan calon. Di dalam debat tentu akan diketahui sejauhmana argumentasi dan rasionalisasi para calon dalam mempertahankan rencana program beserta strategi realisasinya. Disitulah tampak ukuran kecapakan masing-masing kandidat. Publik lebih punya kesempatan untuk menguji keseriusan capres melalui forum debat tersebut, apakah kandidat itu layak dipilih atau tidak.
Didalam debat juga terjadi proses pendidikan politik bagi rakyat. Para pemegang kebijakan sudah seharusnya menyadari bahwa rakyat semakin tak percaya dengan serangkaian mekanisme politik dalam memproses lahirnya para pemimpin. Meningkatnya angka Golongan Putih (Golput) menjadi semacam antitesis dari perjalanan pemilihan langsung selama ini. Karena itu, masyarakat harus diyakinkan kembali bahwa bangsa ini membutuhkan figur pemimpin yang benar-benar berkualitas dan berintegritas. Usaha peningkatan partisipasi dapat distimulasi dengan menyuguhkan forum debat kandidat capres-cawapres.
Diatas segalanya, debat menjadi sarana untuk menakar konsistensi antara janji dan implementasi. Nantinya akan tampak apakah para kandidat terpilih benar-benar konsisten dengan janji yang telah disampaikan sebelum menjadi presiden.
Gaya Kepemimpinan
Penentuan sosok capres tidak cukup dengan hanya memiliki kriteria umum yaitu pemenuhan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang seperti yang sempat diperdebatkan yaitu masalah tingkat pendidikan dan umur. Juga tidak melulu hanya persyaratan prosedural-politis, seperti pemenuhan 20% dukungan DPR. Bangsa Indonesia membutuhkan seorang pemimpin efektif untuk menghadapi tantangan ke depan khususnya masalah perekonomian (effective economic policy) dan kesejahteraan (socio-cultural finesse) serta dapat menjalankan roda pemerintahannya (political mastery) dengan baik. Melalui program debat capres-cawapres, sejatinya dapat diketahui cermin dan gaya kepemimpin mereka. Baik pasangan Nomer 1 (Prabowo – Hatta) maupun pasangan nomer 2 (Jokowi – JK) masing-masing mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda. Setidaknya, gaya kepemimpinan capres-cawapres yang akan memimpin negeri ini dapat dikategorisasi kedalam enam Leadership Style Theory (Daniel Goleman dkk: 2004), diantaranya:
Pertama, Coercive Style. Dengan gaya ini, pemimpin dimustikan memiliki control diri (self control) dan inisiatif untuk mencapai tujuannya dan mengharapkan permintaannya dipenuhi dengan segera. Kepemimpinan ini cocok dalam kondisi krisis dan untuk memulai (kick-start) suatu perubahan.
Kedua, Authority Style. Pemimpin dengan tipe seperti ini memiliki kepercayaan diri dan dapat memobilisasi serta menginspirasi orang untuk mencapai visinya. Style ini cocok bagi kondisi yang membutuhkan perubahan visi atau arahan yang jelas. Selama satu dasawarsa ini, proses transisi menuju demokrasi telah dilalui secara terseok dan tersendak. Belum ada kejelasan rencana bagaimana membangun sistem demokrasi yang lebih mapan. Di satu sisi, semua pihak sadar dan memahami bahwa sudah waktunya bangsa ini landing pada tahap konsolidasi demokrasi dengan pelembagaan sistem politik. Namun pemahaman dan kesadaran itu menjadi sebatas diskursus teoritis tanpa ada kejelasan implementasi. Karenanya, style pemimpin otoritatif ini diharapkan dapat mendorong proses demokratisasi bangsa ini menuju tahapan yang lebih baik.
Ketiga, affirmative Style. Tipe pemimpin ini mampu menciptakan harmoni dan komunikasi yang baik serta membangun ikatan emosional, dengan prioritas utamanya: rakyat. Kondisi ini diperlukan untuk membangun tim atau memperbaiki hubungan yang rusak dan memotivasi orang dalam keadaan yang frustasi.
Keempat, Democratic Style. Pemimpin demokratis akan mendorong terjadinya konsensus melalui partisipasi yang aktif, kerjasama serta team leadership dan komunikasi yang baik. Tipe ini berguna untuk mendapatkan konsensus maupun input khususnya terhadap berbagai ragam orang atau kelompok. Tentu saja sangat sulit menyelaraskan ragam kepentingan rakyat dalam satu wadah NKRI. Disinilah karakter kepemimpinan demokratis dibutuhkan agar Indonesia tetap satu dalam keragaman (Bhineka Tunggal Ika).
Kelima, Pace setting. menetapkan standar yang tinggi untuk mendapatkan hasil yang cepat dari tim yang berkompeten dan memiliki motivasi yang tinggi. Tipe ini dibutuhkan oleh presiden dalam keahliannya menciptakan team work yang baik dalam kabinetnya. Ia niscaya membaca bahwa yang dibutuhkan di dalam tim bukan hanya kualitas personal, melainkan kualitas komunal. Dengan sinergi dan keseimbangan di dalam tim, akan tercipta pola kerja yang optimal.
Keenam. Coaching. Tipe pemimpinpin ini mampu mengembangkan masyarakat untuk membangun masa depan yang kokoh dan sustainable. Pemimpin ibarat pelatih (coach) dalam sebuah pertandingan sepak bola. Kekompakan dan kerjasama yang bagus antar elemen dalam tim akan mampu menampilkan ritme permainan menarik dan mudah memenangkan pertandingan. Inilah yang saat ini juga dibutuhkan oleh bangsa ini.
Tak hanya satu tipe, perpaduan karakter kepemimpinan ini niscaya dimiliki oleh capres-cawapres kita untuk Indonesia yang lebih baik. Tentunya kita semua berharap agar perhelatan pilpres 9 Juli nanti akan menghasilkan sosok pemimpin transformasional bercirikan keenam tipe diatas. Lantas siapakah pemimpin yang paling pantas? Biarkan rakyat yang menentukan!
Danang Sangga Buwana
Komisioner KPI Pusat
Jawapos, Jumat 13 Juni 2014