Kualitas demokrasi diukur dari derajat partisipasi rakyat dalam perhelatan peralihan kepemimpinan. Tahun ini, pemilihan umum (pemilu) membuka perguliran demokrasi lima tahunan, akan diuji kualitasnya melalui partisipasi pemilih. Rendahnya partisipasi berdampak pada rendahnya legitimasi politik.
Masalahnya, dari waktu ke waktu golongan putih (golput) kian meningkat.
Secara kalkulatif sejak 15 tahun terakhir, persentase golput tak beranjak turun. Data KPU menyebut, pada Pemilu 1999 angka golput sebesar 10,21 persen, Pemi lu 2004 menjadi 23,34 persen, dan terus meningkat menjadi 39,1 persen pada Pemilu 2009. Kondisi serupa juga terjadi pada setiap perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai daerah semenjak digelar secara langsung.
Aksi golput dapat dipahami sebagai kulminasi kekecewaan atas tata kelola pemerintahan, sistem politik, dan sistem hukum yang tak kunjung mampu mengimplementasi cita-cita kesejahteraan bersama. Elite parpol harus berbenah, penyelenggara pemilu selayaknya bergegas, semua elemen bangsa ini mestinya membangun optimisme, dan rakyat niscaya diyakinkan bahwa perbaikan nasib anak bangsa akan berbanding lurus dengan partisipasi politik.
Pilar demokrasi
Sebagai pilar demokrasi, televisi berandil memberikan pendidikan politik. Lembaga penyiaran ini mengemban kewajiban mencerdaskan bangsa. Televisi "peminjam" frekuensi publik wajib mematuhi amanat Pasal 36 UU Penyiaran No 32/2002. Bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, dan man faat membentuk intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Mandatori tersebut diwujudkan melalui "pendidikan politik" melalui peningkatan kualitas program tayangan. Pendidikan politik dapat dilakukan melalui beragam acara yang mampu meningkatkan kesadaran partisipatif pemirsa terhadap pemilu. Ia juga dapat diwujudkan melalui beragam iklan layanan masyarakat (ILM), misalnya, tentang cara mencoblos yang benar dan segala bentuk teknis menekan angka golput. Pendidikan politik juga dapat diimplementasikan melalui tayangan stimulatif atas apresiasi kritis publik terhadap pemilu.
Tak hanya melalui iklan, upaya televisi memberikan pendidikan politik dapat dilakukan melalui siaran jurnalistik (talk show, feature, investigasi, dan berita) yang menyuguhkan pentingnya suksesi pemilu agar berjalan lancar, aman, dan jurdil (jujur-adil). Ketidakberhasilan media menekan angka golput akan menjadi catatan buruk sejarah demokrasi. Tak hanya itu, golput mendedahkan praktik demokrasi yang perlu dikoreksi. Sebaliknya, keberhasilan televisi memerankan diri menekan angka golput berarti pula keberhasilan pilar demokrasi dalam memerankan dua fungsi penting.
Pertama, fungsi antisipatif terhadap delegitimasi politik. Pemilu akan terdelegitimasi oleh banyaknya aksi abstain ter hadap pilihan calon pemimpin. Maknanya, jika golput meningkat, mayoritas rakyat belum menginginkan calon pemimpinnya. Rakyat memang sudah jenuh dengan janji dan retorika politik.
Na mun, tak semua calon wakil rakyat berperilaku korup. Masih banyak calon pemimpin berintegritas. Dan, televisi layak menyuguhkan program tayangan yang mampu menstimulasi optimisme publik terhadap tatanan politik. Televisi patut memberikan angin segar bahwa bangsa ini sedang membutuhkan konsolidasi, bukan euforia demokrasi.
Kedua, secara afirmatif pendidikan politik televisi dapat dimaknai sebagai upaya mengeliminasi pembangkangan sipil secara halus (soft civil disobedient).
Fakta bahwa golput bukan sekadar simbol penolakan politik, melainkan dapat terkategori pembangkangan halus dari aspek ketidaktaatan masif dan apatisme terhadap transisi demokrasi pascareformasi yang tak kunjung terkonsolidasi secara baik. Melalui program inspiratif dan mengajak kebersamaan membangun bangsa melalui partisipasi publik, televisi berperan meningkatkan partisipasi pemilih. Tak hanya melalui iklan pemilu dan berita, tayangan inspiratif berbasis kebangsaan dapat diselipkan melalui program hiburan.
Masyarakat tentunya berharap pemilu menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin transformasional dalam kekuasaan eksekutif dan legislatif yang setia pada hukum, jujur, dan terbuka. Rakyat rindu pemimpin yang benar-benar tulus berpihak pada kepentingan rakyat melalui visi percepatan kesejahteraan. Bukan kesejahteraan sebagai pemanis bibir belaka. Karena, selama ini ia diwiridkan demi sebuah citra dan ekspektasi politik semata. Sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan hilang, melainkan kian merajalela. Memulihkan kepercayaan rakyat kepada elite dan lembaga politik adalah pekerjaan rumah yang berat. Kita berharap bangsa ini akan mendapatkan calon pemimpin amanah, tulus, transformasional, dan berani menghadapi segala risiko demi menyejahterakan rakyat.
Last but not least, televisi sebagai pilar demokrasi juga tak selayaknya hanya menayangkan program siaran yang justru mengikis spirit nasionalisme, mengumbar kejelekan, dan mengolok-olok bangsa sendiri. Sudah saatnya televisi mengajarkan kepada pemirsa bagaimana menjadi warga negara beradab, santun, optimistis, dan percaya kepada para calon pemimpin bangsa. ***
Danang Sangga Buwana
Komisioner KPI Pusat
REPUBLIKA, 14 Maret 2014