Gencarnya iklan politik di televisi menuai kritik publik. Beberapa waktu lalu, gabungan mahasiswa berbagai kampus dengan mengatasnamakan Gerakan Frekuensi Milik Publik mendatangi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat, mendesak KPI agar bersikap tegas terhadap tayangan iklan bernuansa kampanye. KPI sejatinya telah menegur dan memberi peringatan tertulis kepada enam stasiun televisi nasional terkait dengan tidak proporsionalnya siaran iklan bernuansa politik dan pemberitaan tidak berimbang terhadap semua partai politik. Agaknya peringatan KPI diabaikan dengan dalih penilaian atas iklan politik sebagai iklan kampanye adalah domain Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
KPI kini menghadapi dua arus. Pertama datang dari dorongan publik agar bertindak tegas terhadap banyaknya iklan politik di industri layar kaca, khususnya terhadap pemanfaatan owner (para pemilik) yang aktif di partai politik. Arus kedua datang dari industri televisi (lembaga penyiaran). Pihak lembaga penyiaran kerap berkelit soal iklan politik bukanlah iklan kampanye. KPI dinilai tidak berkompeten pada pemberian sanksi permasalahan pemilu. Jika kedua regulator di rezim Pemilu 2014 (KPU dan Bawaslu) tidak menindak iklan yang ditayangkan, tindakan KPI terhadap penayangan iklan politik dinilai melampaui kewenangan.
Penilaian semacam ini menjadi pertimbangan KPI dalam konteks penguatan legal standing penindakan terhadap iklan politik televisi. Masalahnya, nomenklatur "iklan politik" tidak verbal di UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPR, dan DPRD maupun di UU Nomor 32 tentang Penyiaran. Problem penyikapan iklan politik kian pelik mengingat nomenklatur "iklan kampanye", baik bagi KPU maupun Bawaslu, harus memenuhi unsur subyek, ajakan, dan penyampaian visi-misi secara kumulatif. Jika pun "tidak kumulatif", iklan politik tak terkategori iklan kampanye. Nuansa batin ini yang melatari kehati-hatian KPI terkait dengan indikasi iklan kampanye.
Konteks ini, KPI sedang berikhtiar menyikapi tuntutan publik atas iklan politik dengan berupaya mengambil kebijakan berparadigma progresif. Sebab, secara sosiologis, publik (pemirsa) ketika melihat tayangan iklan politik, apa pun bentuknya, tidak akan melihat definisi nomenklatur "iklan kampanye" sebagai sebuah kampanye. Yang dibutuhkan bukan lagi pendekatan hukum normatif semata, melainkan mengedepankan etika publik dan beragam pemaknaan progresif.
Sebagai lembaga publik, KPI menyadari tugas dan tanggung jawabnya mengabdi sebesar-besarnya kepada kepentingan publik. Karena itu, selain telah menegur enam stasiun televisi, KPI sedang merumuskan kebijakan batasan dan/atau larangan terhadap semua tayangan politik hingga dimulainya masa kampanye (penghentian sementara). Selain itu, keputusan KPI tentang penjelasan perlindungan kepentingan publik, siaran jurnalistik, iklan, dan pemilihan umum dalam tahap finalisasi.
Perangkat aturan teknis dan hukum normatif senyatanya belum mampu menjangkau pengaturan atas iklan politik di televisi. Dengan kecanggihan seni dan kreativitas program, industri televisi mampu menyiasati aturan. Terlebih, televisi sejatinya beroperasi di domain nonteknis (kognisi pemirsa). Televisi mempunyai "mesin reproduksi makna" sedemikian canggih yang dipoles dalam program tayangan. Ia mengarahkan pemirsa membenarkan apa yang dikatakan dengan sedemikian halus. Iklan politik di televisi menyediakan multimakna dalam merekonstruksi realitas tak terkatakan: kepentingan kampanye tersembunyi di balik program edukasi dan hiburan.
Televisi berkekuatan hegemonik menjalankan politik representasi. Realitas dipermak secara dramatis. Kepentingan kampanye disajikan dalam "realitas yang sudah dikemas (manufactured realities)". Di sini, KPI, KPU, dan Bawaslu berada dalam arus kekuasaan media (mediacracy) yang secara sempurna merekayasa program dengan kampanye halus (soft campaign). Dengan menggunakan pendekatan hegemoni ala Gramsci, potret "kuasa media" berjalan dalam sistem dominasi kepemilikan dan bergerak ke pemirsa tanpa paksaan.
Karena itu, ikhtiar kebijakan KPI mesti diimbangi dengan kesadaran etis lembaga penyiaran, terutama bagi para pemiliknya. Bahwa frekuensi milik publik memang tak sepatutnya dipergunakan sepihak untuk kepentingan politik meningkatkan elektabilitas dalam Pemilu. Mesti disadari bahwa jutaan masyarakat pemirsa (publik) Indonesia kini kian cerdas. Mereka kian paham, iklan tidak semata-mata merepresentasi integritas figur.
Iklan sebagai unsur politik yang kerap didesain sedemikian rupa hingga jauh dari realitas sesungguhnya, justru semakin stigmatis, hanya mampu memperbesar popularitas, namun miskin nilai elektabilitas. Kesadaran etis pemilik media sebagai calon pemimpin sejatinya diukur dari sejauh mana mereka mengutamakan kepentingan publik dengan tidak menggunakan frekuensi milik publik untuk kepentingan politik.●
Danang Sangga Buwana
Komisioner KPI Pusat
TEMPO.CO, 03 Februari 2014