LEGITIMASI kepemimpinan yang dipilih melalui mekanisme politik dapat diukur dari seberapa jauh dukungan masyarakat melalui partisipasi pemilih. Kuat atau tidak kepemimpinan seseorang bisa dilihat dari dukungan publik terhadapnya. Karena itulah partisipasi pemilih secara dominan dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden sangat dibutuhkan. Di titik ini sebenarnya media turut berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam pileg maupun pilpres, di samping peran stakeholder lain.
Belajar dari pemilu 2009 di mana angka suara golongan putih (golput) mencapai 66,9 juta atau 67 juta masyarakat tidak menyuarakan hak politik dan konstitusinya untuk memilih pemimpin. Jumlah golput yang masih terbilang tinggi mendedahkan pertanyaan fundamental tentang legitimasi kepemimpinan, bagaimana masyarakat memandang realitas politik kontemporer, termasuk mempertanyakan arah perjalanan demokrasi di negeri ini jika angka golput masih menanjak naik dalam pemilu kedepan.
Di dalam Undang-Undang terbaru yang mengatur mengenai penyelenggaraan Pemilu yaitu UU No. 15 Tahun 2011 disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Itu artinya pelaksanaan pemilihan umum dilakukan dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip bersama (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil) dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Pemilu demokratis harus didukung dengan partisipasi masyarakat yang aktif dan cerdas dalam memilih. Keaktifan publik yang sekaligus akan menekan angka golput yang selalu muncul dalam setiap pemilu dilaksanakan. Istilah populer vox populi, vox dei (suara rakyat suara Tuhan), tidak hanya menjadi spirit namun hal itu adalah roh dalam pemilu yang sejatinya dapat dipraktikkan secara riil.
Apalagi pada Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Partisipasi publik dalam momen-momen politik menentukkan kuat atau tidak pemimpin yang dipilih, dapat meningkatkan kualitas demokrasi sekaligus menjadikan masyarakat sebagai pemilih yang cerdas dengan hak konstitusi yang telah melekat pada dirinya sebagai warga negara. Pada konteks itu sesungguhnya andil media begitu penting.
Urgensi Media
Secara langsung maupun tidak langsung antara partisipasi pemilih dengan peran media terasa begitu kuat, apalagi di tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Media cetak dan elektronik menjadikan wacana politik termasuk di dalamnya tentang bagaimana urgensi partisipasi publik untuk menentukan hak politiknya turut mendapat porsi yang utama, apakah itu dalam pemberitaan, acara diskusi, debat, atau program dialog terbuka.
Peran aktif media dalam menggiring keterlibatan masyarakat dalam memilih tidak bisa dipandang sepele. Eksistensi media bahkan memiliki pengaruh yang tidak kecil dalam membantu masyarakat untuk dapat terlibat secara aktif dalam pemilu. Kita sama-sama mafhum, media apalagi televisi mampu mempengaruhi cara berpikir dan sikap seseorang.
Keberadaan media diantaranya mampu mempengaruhi: (1) dampak kognitif, yakni kemampuan seseorang atau pemirsa untuk memahami pesan yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. (2) dampak perilaku, yakni proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (3) dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada trend aktual yang ditayangkan televisi. (Wawan Kusnadi, 1996).
Bertolak dari itu, maka peran ideal media dalam politik setidaknya meliputi 3 hal. Pertama, sarana informasi politik. Melalui media masyarakat pemilih mengetahui informasi politik dan pemilu yang mendasar, termasuk hal yang bersifat teknis, semisal jadwal pencoblosan. Informasi yang diproduksi media termasuk pendidikan dan partisipasi politik pemilih turut menentukkan seberapa besar keikutsertaan masyarakat dalam ajang pemilu.
Kedua, wahana pendidikan politik. Tidak semata penyedia informasi, media juga punya peran lebih yakni melakukan pendidikan politik. Bagaimana urgensi politik secara hakiki, arti penting suara pemilih dalam proses politik merupakan bagian pendidikan politik yang perlu disampaikan oleh media. Media mampu memproduksi wacana yang dapat mempengaruhi pikiran, perilaku, hingga agar masyarakat berpoliti dengan cerdas.
Ketiga, kontrol politik. Media sebagai the fourt estate (pilar keempat) dalam demokrasi memiliki peran signifikan untuk mengontrol proses politik agar berjalan sesuai dengan on the right track . Arti penting peran kontrol ini semakin memiliki relevansinya ketika tuga lembaga pilar yang lain, yakni eksekutif, yudikatif dan legislative dalam kondisi ‘lampu kuning’.
Politik adalah keniscayaan bagi setiap manusia. Manusia adalah zoon politicon, ini kata Plato dalam bukunya Republica. Sebagai zoon politicon manusia tidak dapat lepas dari yang namanya realitas maupun kehidupan politik di dalam suatu institusi negara.
Media, di titik ini dapat menyebarkan ataupun memperkuat persepsi serta pilihan publik untuk memilih wakil dan pemimpinya. Siapapun pilihan publik pada akhirnya, yang terpenting masyarakat dapat menggunakan hak politiknya secara adil beradab.
http://www.jurnas.com/news/111557/Media_dan_Partisipasi_Pemilih/1/Nasional/Opini