Jakarta - Ratusan, ribuan, bahkan jutaan program siaran TV setiap hari berebut masuk ke kamar-kamar dan rumah-rumah masyarakat. Masing-masing program memiliki KONTEN yang berbeda, baik jenis, tujuan, maupun target pemirsanya. Di sejumlah negara, program-program tersebut diatur JAM tayangnya. Di sejumlah negara lainnya, KONTEN siarannya diatur secara ketat. Berbagai macam sanksi dan hukuman juga dibuat untuk menekan atau mencegah pelanggaran. Namun demikian, di sana-sini masih juga terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan penyiaran yang sebenarnya disiapkan dan diterapkan antara lain untuk melindungi pemirsa atau masyarakat. Foto-foto diatas sekedar ilustrasi pertanyaan ’Apakah ke sembilan pendekar penyiaran ini (dan komisioner-komisioner KPID lainnya) sanggup membidani lahirnya dan mengawal implementasi aturan-aturan penyiaran yang diperlukan di Indonesia?’ Dan, apakah kita akan dan harus memiliki regulasi penyiaran TV yang sangat tebal seperti ilustrasi gambar di atas?

KONVERGENSI DAN REGULASI

Konvergensi di sini berarti berbaur atau bergabungnya sejumlah media atau teknologi yang berbeda seperti misalnya komputer, televisi, radio, telepon, satelit, kabel, mesin fax, internet, dan bahkan mesin fotokopi. Penggabungan atau konvergensi antara teknologi komunikasi, komputer, dan penyiaran ini kini menjadi topik pembicaraan hangat di dunia penyiaran. Konvergensi tidak saja mengubah cara penyajian sebuah siaran tetapi juga memengaruhi konten siaran. Dan yang paling dahsyat dampaknya adalah perubahan yang terjadi pada industri penyiaran. Kini, banyak negara yang harus mengkaji ulang regulasi yang telah mereka miliki untuk mengatur bisnis hiburan ini. Sejumlah negara bahkan terpaksa melakukan amandemen terhadap undang-undang penyiaran mereka. 

Pertanyaan-pertanyaan seperti ’Apakah komputer bisa menerima konten televisi?’ atau ’Apakah televisi bisa menerima konten komputer?’ kini sudah ada jawabnya. Kombinasi teknologi penyiaran telah mengubah definisi persaingan sehingga memunculkan model-model bisnis baru di industri ini. Nampaknya kini televisi yang ada di ruang-ruang kita tidak lagi menjadi sekedar televisi tetapi sebuah alat ’ajaib’ yang bisa menyuguhkan segala macam kebutuhan audiovisual manusia. Beberapa contoh konvergensi telekomunikasi dan penyiaran yang kini bisa disaksikan antara lain: Internet Broadcasting Service, IPTV (Internet Protocol Television), VOD Service (Video-on-Demand) , DVB (Digital Video Broadcasting), Data Broadcasting, Pay-TV, Cable TV, dsb. Konvergensi demikian ini tentu memerlukan perubahan regulasi baru. Apakah regulasi yang lama hanya perlu ditambah atau diamandemen? Atau, apakah diperlukan regulasi yang baru sesuai dengan perubahan teknologi yang terjadi di masing-masing negara? Jika regulasi lama dipertahankan tentu akan banyak sekali tambahan yang diperlukan. Jika regulasi baru harus disiapkan, tentu diperlukan enerji dan sumber daya yang sangat besar untuk menyelesaikannya sehingga regulasi baru tersebut bisa mengakomodir hal-hal baru yang sedang dan akan terjadi. Di sinilah letak tantangan lembaga-lembaga regulator di bidang ini. Industi penyiaran menjadi semakin betul-betul tanpa sekat atau tanpa batas dan saling terkait dan terhubung, sementara regulasi atau undang-undangnya masih di masing-masing negara. 

Konvergensi media dan teknologi akan semakin memperumit pelaksanaan standar dan regulasi, khususnya kepada media-media berteknologi mutakhir, sehingga bisa membuat undang-undang yang ada menjadi kuno dan tidak pas lagi. Contoh yang terjadi di Amerika antara lain: Disney membuat program-program siaran TV-nya (ABC) juga bisa ditonton di Internet; NBC bekerjasama dengan YouTube.com menyediakan program-program TV bisa ditonton di Internet. Sementara itu, para operator berbasis Web menawarkan ratusan layanan video. Google dan Apple memiliki toko video online, sedangkan ribuan situs lainnya menyediakan program-program TV atau klip video amatir. Disamping itu, para pemilik Microsoft Xbox 360 gaming platform kini dapat mengunduh film-film pop dan menyiarkan program-program TV melalui layanan ”Xbox Live”. 

Contoh lain yang bisa menggambarkan perubahan radikal di industri ini adalah kejadian tahun 2005 ketika konser ”Live 8” disiarkan di situs AOL secara gratis, sementara sebagian acaranya juga disiarkan di jaringan kabel MTV, dan kemudian disiarkan ulang di stasiun-stasiun TV milik jaringan ABC. Siaran ulang di jaringan ABC ini ditonton oleh sekitar 2.9 juta pemirsa, sedangkan siaran MTV ditonton oleh 1.5 juta pemirsa. Akan tetapi, situs AOL ditonton oleh 5 juta pengunjung. Kisah ini menjadi peristiwa bersejarah tentang berkembangnya Internet sebagai saluran distribusi massal untuk konten-konten atau program-program siaran dan video. 

Sebelum manuver-manuver bisnis tersebut di atas terjadi atau dilakukan di Amerika, sebenarnya para pembuat undang-undang, regulator, dan ahli hukum sudah sadar bahwa para pemain di industri penyiaran itu berdiri di atas landasan hukum yang tidak kuat alias ’selalu goyah’ jika alasan kelangkaan dan lisensi menjadi dasar utama untuk mengendalikan konten dan penggunaan spektrum frekuensi. Akankah hal demikian ini terjadi di Indonesia? 

Lalu, tantangan lain segera muncul: apa yang akan dilakukan oleh para lembaga regulator jika para operator Mobile Phones alias ’hp’ memutuskan untuk terjun di bidang penyiaran dan menjual layanan penyiaran melalui jaringan ’hp’ para pelanggannya yang berjumlah ratusan juta?

LOGIKA KELANGKAAN SPEKTRUM FREKUENSI DAN REGULASI

Penjelasan yang tertulis dalam Pertimbangan (point b., halaman 1) Undang-undang RI Nomor 32 menyatakan ’bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam yang terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.’ 

Perkembangan teknologi penyiaran yang terjadi saat ini mungkin bisa membuat pertimbangan tersebut tidak lagi masuk akal. Di Amerika, logika kelangkaan spektrum penyiaran seperti tersebut di atas dianggap tidak masuk akal atau sangat lemah jika dipakai sebagai landasar berpikir dalam mengatur pemberian lisensi ke lembaga penyiaran. Semua sumber daya alam itu pada dasarnya terbatas jumlahnya. Minyak, batu bara, timah, dan kekayaan tambang lainnya juga sebenarnya terbatas. Dengan kata lain, pengaturan atau regulasi yang didasarkan pada kelangkaan tersebut ternyata malah memperburuk kelangkaan itu sendiri. Kini kita bisa saksikan bahwa kemampuan daya beli pasar dan hak milik (property rights) justru meningkatkan inovasi-inovasi dalam penggunaan jumlah spektrum. Para teknisi dan insinyur di bidang telekomunikasi terus berusaha menemukan cara-cara baru untuk memanfaatikan keterbatasan atau meningkatkan kapasitas spektrum yang ada sehingga spektrum-spektrum yang sebelumnya tidak bisa dipakai kini menjadi komoditas bisnis yang sangat menggiurkan.

Di satu sisi, kita harus secara jujur mengakui bahwa regulasi penyiaran selalu berdiri di atas landasan undang-undang yang tidak kuat, selalu goyah dan berubah seiring dengan perkembangan teknologi. Kini, landasan konstitusional tersebut banyak yang runtuh di sejumlah negara, khususnya negara-negara maju dan demokratis, karena maju pesatnya perkembangan bidang hukum dan teknologi. Menggunakan regulasi lama untuk mengatur media-media dengan teknologi baru tentu akan menjadi masalah besar. Atau, membiarkan lembaga-lembaga penyiaran merana karena sering harus membayar denda pelanggaran kode etik atau undang-undang juga merupakan kekeliruan. Namun demikian, di sisi lain, kelangkaan spektrum malah menjadi berkah. Kasus di Amerika bisa menjadi contoh menarik. Justru karena kelangkaan spektrum ini, jumlah stasiun TV di Amerika menjadi dua kali lipat, sementara jumlah koran harian terus menurun. Kini justru koran harian yang semakin sedikit dibanding jumlah stasiun TV. Jumlah stasiun radio di Amerika juga meningkat dua kali lipat sejak tahun 1970. Sementara itu, teknologi dan gerai (outlet) media lainnya juga berkembang pesat, misalnya: TV satelit, TV kabel, radio satelit, Internet TV, blog, dan lain sebagainya. Jadi, dengan kemajuan teknologi yang luar biasa, warga Amerika kini memiliki jumlah akses informasi, hiburan, dan berita yang luar biasa banyak. Dimana-mana ada media penyiaran, hadir dan melayani kebutuhan hidup masyarakat. ”Akses informasi itu sekarang ada dimana-mana, seperti udara yang kita hirup,” kata Stephen T. Gray (http://www.csmonitor.com/2005/0509/p09s01-coop.html).

PENGADUAN DAN DENDA

Meskipun undang-undang dan regulasi penyiaran di semua negara mengatur adanya mekanisme pengaduan dan denda, jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran tetap saja besar. Apakah ini berarti tingkat ketidakpuasan pemirsa atau masyarakat terhadap kualitas siaran semakin tinggi? Atau, apakah mungkin terjadi kesalahpahaman dalam memahami undang-undang dan regulasinya? Atau, undang-undang dan regulasinya sudah tidak sesuai lagi tetapi tetap dipaksakan untuk dipakai?

Secara umum ’pengaduan’ adalah ekspresi ketidaksenangan, ketidaksetujuan, kemarahan, atau ketidakpuasan pemirsa TV terhadap konten siaran. Mungkin si pemirsa mengadukan adanya beberapa kata yang ’indecent’ (tidak pantas/tidak layak/tidak sopan/tidak senonoh) dalam sebuah siaran. Atau pengaduan tersebut hanya berisi keberatan atas beberapa cuplikan gambar yang ditayangkan sebuah siaran.  

Di Amerika, FCC (Federal Communications Commission), sebagai lembaga independen yang mengatur program siaran di seluruh Amerika, tidak memonitor program-program atau konten-konten apa saja yang disiarkan. Lembaga ini hanya menjalankan fungsinya untuk menindak pelanggaran atas konten siaran setelah adanya pengaduan dari pemirsa. Kini FCC memiliki sebuah biro yang disebut EB (Enforcement Bureau). Biro ini memiliki situs khusus yang menangani kasus-kasus ‘Obscenity, Indecency & Profanity.’ Tabel berikut bisa menjadi sebuah gambaran atau ilustrasi tentang tingginya jumlah pengaduan masyarakat dan denda yang harus dibayar oleh lembaga penyiaran: 

TAHUN JUMLAH ADUAN JUMLAH PROGRAM JUMLAH DENDA YANG DIBAYAR

2006

(Jan-Juli)327,1981191$3,962,500

2005233,5311550$0

20041,405,419314$7,928,080

2003166,683375$440,000

200213,922389$99,400

2001346152$91,000

2000111111$48,000

19995,853N/A$49,000

199832,300N/A$40,000

1997828N/A$35,500

1996950N/A$25,500

1995947N/A$4,000

199412,817N/A$674,500

1993N/AN/A$665,000

Angka-angka di atas menggambarkan adanya kenaikan dalam jumlah aduan dan denda. Akan tetapi, apakah itu berarti adanya peningkatan jumlah konten yang indecent? Atau ada hal lain yang terjadi? Menurut FCC, memang ada kenaikan tajam dalam jumlah kasus pengaduan dan program yang diadukan serta jumlah denda yang dikenakan. Akan tetapi ternyata data ini tidak menunjukkan adanya kenaikan dalam hal ketidakpuasan pemirsa terhadap program-program atau konten-konten siaran. Pengaduan-pengaduan tersebut ternyata hanya melibatkan sejumlah kecil program. Misalnya, pada tahun 2002 97% pengaduannya sebagian besar hanya terkait dengan 4 program siaran. Sedangkan pada tahun 2005, dari 233.531 pengaduan, 99.8% pengaduannya terkait hanya pada 9 program khusus. Yang menarik dari data ini adalah adanya sinyalemen atau kecurigaan bahwa ada  sekelompok orang yang tidak suka terhadap sejumlah siaran dan mereka memanfaatkan situs pengaduan ini dengan mengirim email pengaduan. Tentu contoh menarik dari Amerika ini bisa juga menjadi bahan masukan dan kajian atas penerapan sistem pengaduan dan denda di Indonesia. Betulkah jumlah pengaduan yang masuk menunjukkan tingkat ketidakpuasan pemirsa? Atau ada hal lain yang perlu dikaji lebih jauh?

Sumber: http://www.csmonitor.com/2005/0509/p09s01-coop.html 

http://www.fcc.gov/ dan sumber-sumber lainnya

Penerjemah:  Agus Satoto, M.Hum

KPI Pusat, Mei 2012

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.