Jakarta - Belakangan ini, muncul kasus-kasus menyangkut isu sensitif agama, yaitu ekspos produk media yang telah mengganggu perasaan dan harmoni kehidupan beragama. Hal itu mau tidak mau memantik diskursus ulang tentang arti dan implementasi dari `kebebasan'.
Kebebasan pers (freedom of the press) dan kebebasan ekspresi (freedom of expression) merupakan `mantra' ampuh yang terus digaungkan dalam era demokrasi saat ini. Tidak ada yang salah dengan keduanya, bahkan kita perlu menghargai dan memperjuangkannya.
Masalahnya, kita sering lupa bahwa kebebasan itu harus dimaknai secara utuh. Lebih dari itu, kebebasan juga harus diimplementasikan dengan penuh kearifan dan tanggung jawab. Tanpa itu, kebebasan dipastikan akan bermasalah dan dapat dipastikan akan menimbulkan masalah. Kebebasan dengan makna utuh mengasumsikan kebebasan dengan batasan.
Kebebasan tanpa batas, untuk manusia yang diberi akal dan hati, akan memupuk nafsu hayawaniah (kehewanan) dan justru melunturkan prinsip insaniyah (kemanusiaan dan humanisme). Paling tidak, dalam praktiknya, kebebasan itu akan terbatas oleh kebebasan orang lain. Sehingga, pastilah kebebasan itu bukan bebas tanpa batas alias semau gue.
Hak mengeluarkan pendapat, melakukan sesuatu, memberitakan informasi, sampai menayangkan peristiwa memang dimiliki oleh setiap individu. Namun, individu tersebut harus sadar dengan nalarnya bahwa di luar dirinya, ada juga individu lain yang harus dihargai kebebasannya. Dengan demikian, tidak bisa semua hal diekspresikan dan dimediakan semau-maunya.
Kebebasan media Kehadiran media, dengan segala bentuknya yang sekarang ada, mulai dari cetak, elektronik (penyiaran), sampai online, merupakan sebuah anugerah. Bagi Indonesia, kebebasan pers dan media telah membawa berkah reformasi.
Catatannya, bagaimana kebebasan itu tetap dan akan selalu menjadi berkah dalam konteks keindonesiaan kita? Berkah kebebasan pers membuat banyak media bermunculan dan menawarkan `apa saja' kepada khalayak. Media telah menempatkan diri sebagai penyedia segala hal kepada publik, baik yang benar-benar dibutuhkan maupun tidak.
Bahkan, media juga punya kekuatan untuk memengaruhi dan mengarahkan pembaca, pengakses, dan pemirsanya untuk berbuat apa dan menjadi apa.
Mengingat media impact yang luar biasa ini maka seharusnya kebebasan pers dan media ditempatkan secara proporsional. Terkait pemberitaan, sudah ada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang mau tidak mau akan membatasi dan menempatkan kebebasan (kemerdekaan) pers pada koridor yang selayaknya. Tinggal bagaimana evaluasi terhadap penerapan KEJ yang ditetapkan Dewan Pers itu terus dijalankan.
Dalam ranah penyiaran, KPI sudah membuat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk menjadikan pers dan media tetap istiqamah (konsisten) memfungsikan dirinya sebagai sarana informasi yang layak dan benar, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, serta perekat sosial. Aturan itu sama sekali tidak ada maksud untuk mengekang kebebasan pers.
Salah besar bila ada sebagian kalangan yang masih punya anggapan demikian. Di manapun dan untuk konteks apa pun, aturan berbasis pada etik dan nilai tetap diperlukan. Dengan dasar itu pula, sensor mandiri menjadi sangat penting untuk menimbang, apakah sajian media berimplikasi kebaikan dan keadaban publik atau sebaliknya, keburukan dan kekacauan.
Kekerasan simbolis Kebebasan yang dijalankan tanpa batas akan memicu adanya reaksi, bisa jadi sampai pada tindakan kekerasan.
Tanpa bermaksud membenarkan aksi kekerasan, apalagi kekerasan atas nama apa pun, seharusnya dihindari, kebebasan yang dilakukan tanpa batasan etik dan rasa hormat terhadap prinsip dan nilai kelompok lain sesungguhnya merupakan bentuk kekerasan itu sendiri.
Dalam kajian komunikasi terdapat istilah kekerasan simbolis (symbolic vio lence), yakni kekerasan nonfisik be rupa mekanisme komunikasi yang mengandung relasi kekuasaan yang he gemoni dan timpang. Di dalamnya terdapat pola komunikasi yang sewenang-wenang antarpihak tertentu, terkait dengan stigmatisasi dan monopoli makna.
Pemberian stigma buruk, penghinaan, pemaksaan makna, label tertentu, sampai penistaan agama-kalaupun di atasnamakan kebebasan-merupakan bentuk dari kekerasan simbolis yang tidak bisa dibenarkan. Kekerasan jenis ini bahkan dapat menimbulkan benturan peradaban.
Dampak kekerasan simbolis ini bisa berlangsung dalam jangka panjang dan permanen meskipun kadang tidak sertamerta bisa dirasakan.
Dan, media sangat potensial menjadi sarana kekerasan simbolis ini karena media memiliki kemampuan untuk mem produksi pesan dan mengarahkan maknanya sekaligus. Banyak kajian yang membuktikan kekerasan simbolis telah dilakukan oleh media, misalnya, dalam bentuk framing, atribusi yang menyudutkan, dan konstruksi realitas yang mengandung motif.
Antara kebebasan dan kekerasan memiliki relasi sebab dan akibat yang pelik. Kebebasan jangan menimbulkan kekerasan dan tidak boleh terjadi kekerasan atas nama kebebasan. Pun tidak dibenarkan kebebasan yang dimaksudkan memprovokasi tindakan kekerasan.
Walhasil, alangkah tidak adil bila kita mengampanyekan antikekerasan, namun pada saat yang sama, kita melakukan atau setidaknya membiarkan terjadinya kekerasan. Semoga tidak.
OPINI IDY MUZAYYAD
Komisioner KPI Pusat
dimuat di Harian Republika, 6 Oktober 2012