Banjarmasin -  Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) menekankan bahwa isi siaran yang baik akan memberi dampak baik bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebaliknya isi siaran yang mengandung informasi keburukan akan berpengaruh bagi  kehidupan masyarakat seperti beberapa kasus pencabulan, kekerasan, pemerkosaan dan lainnya. Oleh karenanya pengawasan terhadap isi siaran harus kita laksanakan secara lebih ketat lagi. Hal itu disampaikannya pada pembukaan acara Seminar Sehari “Menanti Ujung Revisi Undang Undang Penyiaran” yang diselenggarakan KPID Kalsel, Senin, 18 November 2013 lalu, di Hotel Mercure, Banjarmasin. 

Kegiatan seminar sehari yang diikuti 150 orang peserta yang datang dari unsur pemprov, kabupaten/kota, lembaga Penyiaran, akademisi dan mahasiswa, menghadirkan sejumlah narasumber antaralain Komisi I DPR RI, Syaifullah Tamliha, KPI Pusat, Fajar Arifianto, Staf Ahli Pendamping perubahan UU Penyiaran, M. Riyanto Rasyid, dan perwakilan ATVSI, Neil R.Tobing.

Syaifullah Tamliha berharap forum ini memberi masukan bukan menyampaikan masalah, karena Panja saat ini telah menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebanyak 858 DIM terkait RUU Penyiaran ini. Menurutnya, masih terdapat beberapa perbedaan dalam draf Komisi I DPR RI dan Pemerintah antara lain mengenai hak warga negara, sistem penyiaran nasional, KPI, digitalisasi dan lainnya.

“Proses tindak lanjut pembahasan RUU Penyiaran dipastikan tidak singkat, apalagi RUU terkait dengan ranah penyiaran yang menyangkut kepentingan publik, kepentingan negara dan kepentingan industri penyiaranyang tergolong strategis,” kata Syaifullah.

Komisioner KPI Pusat, Fajar Arifianto menambahkan, substansi RUU Penyiaran hendaknya hal-hal yang sudah jelas dan kuat jangan dilemahkan. Menurutnya, kepentingan publik tetap menjadi alasan utama, penguatan lembaga KPI Pusatdan KPID. Selain itu harus diperjelas pula peran regulator penyiaran antara Pemerintah dan KPI.

Sementara Neil. R.Tobing mewakili ATVSI menyampaikan beberapa masukan antara lain regulasi harus diarahkan untuk memperkuat industri penyiaran nasional. Menurutnya, RUU penyiaran harus visioner, tidak mengulangi beberap kekurangan yang ada dalam UU No.32 saat ini. “Peran KPI sebagai lembaga pengawasan isi siaran harus diperkuat dan diperluas. KPI harus mengembangkan lembaga rating, pengaturan tata niaga konten, standarisasi dan lisensi untuk menumbuhkan industri penyiaran dalam negeri. KPI harus didukung dengan anggaran yang lebih besar dan diperkuat dari sisi komposisi termasuk dari kalangan ahli tehnisi penyiaran serta diperlukan pula SOP dalam penanganan keluhan dan sanksi,” jelasnya.

Tim Ahli Pendamping Pembahasan RUU Penyiaran, M. Riyanto mengarisbawahi jika UU Penyiaran harus lex specialis, karena mengatur frekuensi sebagai ranah publik, materi substansi dalam UU Penyiaran harus diatur secara detil, supaya terdapat efektivitas pengaturan yang terkait dengan pemanfaatan ranah publik. “Dan juga supaya tidak bertabrakan dengan otoritas UU lainnya,” harapnya.

Selain membahas RUU Penyiaran, seminar menyinggung usulan inisiatif RUU RTRI. Dalam kaitan itu, DPR menempatkan lembaga penyiaran publik sebagai lembaga penyiaran yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, nirlaba dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan publik. Red diolah dari Siaran Pers KPID   

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.