Warning: Illegal string offset 'b8a69d44b5349c450e93fceb250f4d68' in /home3/kpigoid/public_html/libraries/joomla/document/html.php on line 404
Umum


Jakarta – Pengembangan atau juga sosialisasi literasi media kepada masyarakat lebih efektif melalui dunia pendidikan. Hal itu bisa dititipkan melalui jalur formal dalam sebuah kurikulum pendidikan yang dibuat Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Jika sejak dini, dimulai dari bangku sekolah, anak-anak kita dikenalkan dengan pelajaran literasi media, dampak baiknya adalah mereka akan tahu dan paham memilih media yang baik dan tepat buat mereka sendiri. Dengan begitu, mereka akan mampu sendiri menghindar dari dampak buruk akibat isi media.

Komisioner KPI Pusat, Idy Muzayyad mengungkapkan, lebih dari 35 jam setiap minggu masyarakat ataupun lebih khususnya anak-anak menghabiskan waktunya menonton tayangan televisi. Jumlah ini sangat tinggi dibanding dengan kesulurhan waktu yang dihabiskan mereka untuk belajar.

“Karena itu, peran literasi media sangat penting guna meminimalisir ketergantungan mereka terhadap televisi. Mereka bisa di arahkan atau mengarahkan sendiri pilihan lain selain menonton televisi,” kata Idy di depan puluhan guru dari perwakilan SMA, SMK dan MA se-Kabupaten Cilacap yang berkunjung ke kantor KPI Pusat, Selasa, 14 Mei 2013.

Menurut Idy, KPI sudah mengusulkan dan mengupayakan agar proposal literasi media menjadi satu kurikulum pendidikan di sekolah. Terkait ini, Kemendiknas belum memberikan keputusan terkait usulan dari KPI. “Setidaknya, kami berharap pendidikan literasi media dapat masuk dalam sub bagian dari kurikulum tersebut. Literasi media ini sangat penting, apalagi sekarang media sudah berkembang maju,” katanya.

Idy menjelaskan, pendidikan literasi media akan membentuk masyarakat menjadi lebih kritis dan aktif. Jika masyarakat atau publik lebih aktif, hal ini akan mengubah perilaku medianya karena publik menjadi penentu seperti apa media tersebut.

“Jika literasi media berhasil, masyarakat menjadi lebih melek akan media. Ini akan membentuk pemahaman mereka bagaimana memilih media yang benar, menyikapi media secara benar, dan memihak kepada media yang benar,” paparnya.

Para guru yang peduli dengan pengembangan literasi media, menurut Idy, dapat membentuk kelompok pemerhati atau peduli media. Ada enam model yang bisa dicontoh yakni pertama dengan cara menggerakan organisasi yang sudah ada untuk menjadikan kepedulian atau pengawasan media sebagai salah satu priorotas. Kedua, menjadi satu bagian dalam organisasi yang berhubungan dengan media untuk kegiatan pemantauan media. Ketiga, membentuk satu organ baru atau khusus secara otonom di bawah naungan oraganisasi yang sudah ada untuk fokus pada isu media. Keempat, membentuk organ khusus atau baru pemantauan media yang otonom. Kelima, bergabung atau bersinergi dan turut mengembangkan organ pemantau media yang ada. Keenam, menggalakkan pemantauan media secara mandiri berbasis person atau keluarga.

Menurut Idy, Masyarakat yang peduli dengan pengembang literasi media bisa memulai itu semua dengan pengaduan kepada KPI atau KPID terhadap isi siaran yang tidak sesuai dan tidak baik bagi mereka. “Pengembangan bisa dimulai dari pengaduan ke KPI ataupun KPID,” katanya. Red

foto berita utama diambil dari makmalpendidikan.net

(Jambi: 7/5) - Rating alternatif diperlukan untuk memberikan pembanding atas monopoli rating yang selama ini dikuasai oleh lembaga rating tertentu. Untuk merealisasikan hal tersebut, dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mochamad Riyanto, dalam acara Training of Trainers (ToT) Literasi Media KPI di Jambi (7-9/Mei 2013).

Riyanto menilai, kita mampu membuat tandingan untuk TV Rating, demi meningkatkan kualitas penyiaran sehingga televisi memiliki alternatif untuk menilai baik buruk program yang mereka tayangkan. Diskusi tersebut mengemuka dalam ToT yang dihadiri oleh komisioner KPID se-Sumatera, lewat materi membongkar cara kerja rating yang disampaikan praktisi periklanan, Ananto Pratikno.

Menurut Ananto, rating memang menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh media penyiaran untuk mengevaluasi program yang ditayangkan. Pada awal keberadaannya, rating dilakukan dengan cara manual lewat diary TV Rating pada tahun 1992. Selanjutnya pada 1998, rating dilakukan menggunakan peoplemeter TV Rating. Ananto juga menyampaikan,  saat ini hasil rating program televisi dapat diterima setiap hari. Padahal beberapa waktu sebelumnya, raport program televisi lewat TV Rating baru diperoleh setiap pekan.

Namun demikian, Ananto menegaskan bahwa TV Rating yang ada selama ini hanya mengukur secara kuantitatif tingkat kepemirsaan sebuah program. Jadi, baik buruknya program yang ditayangkan, tidak dapat diukur melalui TV Rating. Untuk itu Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Azimah Subagijo mengimbau masyarakat dan pemangku kepentingan untuk tidak menjadikan rating sebagai satu-satunya alat ukur hadirnya sebuah program. “Undang-undang penyiaran mengamanatkan program siaran harus punya nilai informasi, edukasi dan hiburan yang sehat”, ujar Azimah.  Karenanya, kalau ada sebuah acara yang tidak bermutu dan malah membawa dampak negatif bagi masyarakat, sekalipun mempunyai nilai rating yang tinggi, tetap saja tidak boleh dipertahankan.


Bali - Masyarakat memiliki hak untuk mengawasi semua isi dari media, baik cetak, elektronik ataupun syber.  Hak itu sebaiknya digunakan agar wajah media di negara ini menjadi lebih baik.  Hal tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Azimah Subagijo, dalam acara Forum Pengembangan Literasi Media dalam rangka Penguatan Sadar Media di auditorium Fakultas Pasca Sarjana Universitas Udayana, Bali (30/30>

Menurut Azimah, media massa khususnya media penyiaran seharusnya menaati rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh KPI dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), sehingga keluhan masyarakat atas isi media dapat diminimalkan. Azimah memaklumi, munculnya keluhan masyarakat atas konten di media penyiaran. “Efek yang ditimbulkan atas tayangan negatif di televisi dan radio dapat sangat massiv”, ujarnya. Dirinya menyontohkan tayangan smack down yang sempat ada di layar televisi dan mengakibatkan timbulkan korban celaka akibat peniruan yang dilakukan anak-anak atas adegan kekerasan di program tersebut.

Selama ini KPI telah melakukan pengawasan isi siaran atas seluruh televisi yang berudara secara nasional. Sehingga setiap ada materi tayang bermasalah, KPI dapat melakukan teguran, ungkap Azimah. Namun, menurutnya, bagaimanapun juga sebagai sebuah pesan, siaran yang sudah mengudara, seberapapun buruknya, tidak dapat ditarik lagi dari ruang imaji masyarakat yang menonton. Untuk itu dirinya mengajak masyarakat agar lebih peka terhadap tayangan di televisi. “Sudah lama lembaga penyiaran berlindung di balik rating yang dengan metodenya sendiri, dinilai menunjukkan minat masyarakat”, ujar komisioner KPI bidang kelembagaan ini. Namun jika masyarakat melakukan tekanan melalui pressure group dengan jumlah yang masif, lembaga penyiaran tentu berpikir ulang untuk menayangkan siaran dengan mutu yang rendah, sambung Azimah.

Karenanya KPI selalu membutuhkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta mengawasi isi siaran. “Sinergi KPI dan masyarakat dalam mengontrol isi siaran ini akan membuat media penyiaran berpikir panjang jika menayangkan program siaran berkualitas  buruk”, ujarnya. Dalam acara ini hadir pula sebagai pembicara, Henry Subiakto (Staf Ahli Menkominfo), Priyambodo (PWI), dan Dharma Putro (Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana).

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika ini, diselenggarakan juga dalam rangka Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-80 yang dipusatkan di Bali. Dalam sambutan tertulis Dirjen IKP, Freddy Tulung menyampaikan, Forum Pengembangan Literasi Media ini bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai tata cara pemanfaatan media secara sehat. Selain itu, Freddy juga  berharap ada peningkatan daya kritis masyarakat terhadap konten media yang tidak memenuhi unsur pendidikan dan pencerahan.

Jakarta – Para orangtua harus aktif dan selektif dengan pola konsumsi media anak-anaknya. Seringkali para orangtua merasa aman jika anak-anak mereka sedang menonton televisi dengan tanpa bimbingan orang dewasa. Padahal, tidak semua isi media atau tontonan televisi patut diasup anak-anak.

Selain harus terlibat langsung menyeleksi isi media yang pantas buat anak-anaknya, para orang tua harus tegas membatasi waktu anak-anak saat mengkonsumsi media. Komisioner KPI Pusat, Idy Muzayyad mengatakan, maksimalnya waktu anak-anak menonton televisi tidak lebih dari 2 jam sehari.

“Waktu dua jam itu sudah cukup untuk anak-anak. Bahkan, untuk Balita sebaiknya jangan karena ditakutkan akan mempengaruhi pola pikir mereka. Pasalnya, belum tentu isi televisi itu aman buat mereka,” katanya di depan peserta pelatihan bertema “Mengkritisi Media Penyiaran dan Pembentukan Forum Masyarakat Peduli Penyiaran Sehat” di kantor Kongres Wanita Indonesia (Kowani) di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 30 April 2013.

Menurut hasil penelitian, anak-anak Indonesia memiliki kebiasaan menonton televise paling lama. Bahkan, dalam satu minggu total waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi lebih dari 35 jam. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan waktu sekolah. “Jumlah ini sudah sangat banyak. Lalu, apa kita sudah menghitung waktu anak-anak kita menonton televisi dirumah. Ini harus diperhatikan,” kata Idy mengingatkan puluhan peserta pelatihan yang sebagian besar merupakan ibu rumah tangga.

Cara pandang masyarakat terhadap media yang pada awalnya hanya sebatas penikmat harus diubah menjadi pengamat melalui pendidikan literasi media. Jika kesadaran masyarakat lebih peka terhadap media, dampaknya akan baik. Posisi literasi media ini penting, kata Idy, karena ini akan ikut menentukan arah media ke depannya selain beberapa faktor lainnya seperti regulasi dan produksi.

Literasi media bertujuan membangun kesadaran masyarakat terhadap media. Ada tiga tujuannya antara lain masyarakat harus paham bagaimana operasi media, masyarakat harus tahu bagaimana menyikapi media, dan masyarakat harus memihak pada isi media yang benar atau baik.

Dengan sadar media, lanjut Idy, masyarakat dapat mendorong atau menyadarkan pemilik media untuk lebih berat kepada kepentingan masyarakat. Menurutnya, pemilik media ikut bertanggungjawab terhadap moral dan kehidupan bangsa ini.

Sementara itu, pada sesi kedua pelatihan itu, Komisioner KPI Pusat lainnya, Azimah Soebagyo, menekankan hal yang sama kepada para peserta untuk aktif dalam menyosialisasikan literasi media kepada masyarakat atau setidak-tidaknya kepada keluarganya. Upaya ini salah satunya untuk melindungi anak-anak dari dampak buruk isi media.

Menurut Azimah, literasi media akan membentuk kecakapan pada masyarakat terhadap kesadaran mereka terhadap media, kekritisannya, bagaimana cara mereka mengadu, dan menentukan atau memilih media alternatif yang lebih baik.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kowani, Dewi Motik berpesan kepada semua peserta untuk jeli dalam memperhatikan isi media. Hal ini demi kebaikan bersama khususnya generasi yang akan datang. “Masa depan anak-anak kita harus lebih bagus. Karena itu, ini harus kita coba dari lingkungan sendiri,” tegasnya. Red

Batu-Malang - Kemajuan teknologi yang hadir di tengah masyarakat harus disikapi dengan hati-hati. Membanjirnya informasi saat ini baik lewat perangkat telepon ataupun televisi, harus dibarengi dengan adanya regulasi yang selaras dengan tuntutan zaman. Hal tersebut disampaikan oleh Widodo SH, MH, Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Batu, Jawa Timur, saat membuka acara sosialisasi Literasi Media yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di kantor  pemerintah kota Batu, Jawa Timur (1/3).

Menurut Widodo, peninjauan ulang undang-undang pers dan undang-undang penyiaran sudah diperlukan saat ini, untuk dilakukan perbaikan. “Undang-Undang saat ini terlalu member kebebasan pada pers. Sedangkan hak masyarakat untuk mengajukan keberatan atas pemberitaan pers, hanya diatur lewat hak jawab”, ujarnya.

Dalam catatan Widodo, saat ini siaran televisi sudah dimonopoli oleh sekelompok orang saja, sementara berita yang muncul kebanyakan yang bersifat bombastis dan penuh sensasi. Sementara itu,siaran televisi yang harusnya tidak diakses anak-anak malah masih banyak yang muncul. Tak heran, ujar Widodo, anak-anak lebih hafal dengan jadwal siaran televisi daripada meteri pelajaran mereka di sekolah.  Di Batu sendiri, ujarnya, sudah ada kebijakan mematikan televisi pada jam 8-10 malam. “Ini untuk memberikan kondisi yang mendukung anak-anak untuk belajar”, jelasnya.
Selain itu Widodo juga meminta adanya keberimbangan dalam menyiarkan prestasi dan keberhasilan pembangunan yang dicapai pemerintah. Selama ini media lebih sering memberitakan hal-hal yang buruk dan jelek, sedangkan usaha-usaha pemerintah yang berhasil justru luput disiarkan, tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, ketua KPI Pusat Mochamad Riyanto memberikan apresiasi kepada Walikota Batu dan jajaran pemerintah kota tersebut dalam memfasilitasi kegiatan sosialisasi Literasi Media KPI. Menurut Riyanto, kota Batu punya kelayakan untuk menghadirkan pendidik-pendidik literasi media, sehingga masyarakat sadar dan paham bagaimana memanfaatkan media demi kesejahteraan hidup mereka.

Pada acara sosialisasi literasi media ini, peserta dihadirkan oleh pemerintah kota Batu dari berbagai latar belakang. Diantaranya kelompok perempuan, pelajar dan mahasiswa, kalangan pendidik, serta organisasi masyarakat dan pemuda. Semua kelompok masyarakat tersebut menerima materi literasi media dari peserta Training of Trainers Literasi Media yang merupakan komisioner KPID se-Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.  Diharapkan dari acara ini akan terbentuk komunitas masyarakat yang peduli akan hadirnya siaran yang sehat di tengah mereka.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.