Yogyakarta - Pemilu 2014 berbeda dengan pemilu sebelumnya. Jika sebelumnya kampanye untuk pemilu berkonsentrasi untuk mengerahkan masa sehingga berpotensi terjadi konflik di jalan. Saat ini konflik berpindah dari potensi kontak fisik di jalan menjadi potensi konflik di media. Salah satu media yang efektif dalam berkampanye tentu saja televisi. Dilihat dari potensi penetrasi media, televisi menempati tempat nomor satu yang menjangkau 90% masyarakat Indonesia.

Untuk mencari pemecahan masalah tersebut Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Daerah DI Yogyakarta menyelenggarakan Diskusi Publik “Menuju Pemilu yang Mencerdaskan dan Berbudaya”. Hadir sebagai narasumber Azimah Subagijo (KPI Pusat), Hamdan Kurniawan (Ketua KPU DIY), dan Jawahir Thontowi (Akademisi UII). Acara ini diselenggarakan pada Selasa, 25 Maret 2014 di Aula Plaza Informasi Yogyakarta. Peserta yang hadir berasal dari Parpol, Lembaga Penyiaran, Lembaga Pendidikan, dan beberapa pemilih pemula.

Ketua KPI Daerah DIY, Tri Sunaryo, dalam sambutannya menyampaikan bahwa tren berpindahnya kampanye dari luar ruangan menjadi kampanye di media menjadi tambahan pekerjaan bagi KPI. Karena itu baik penyelenggara, peserta, maupun pengawas pemilu harus mengedepankan kampanye yang cerdas dan berbudaya. Sehingga dinamika kampanye ini bisa meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.

Media memungkinkan pemilih mendapatkan informasi, fakta- data tentang peserta pemilu. Dengan media pemilih dapat membekali diri untuk menentukan pemilih. Untuk itu media massa hendaknya tidak hanya sekedar menyajikan berita namun juga harus mengusung misi untuk mencerdaskan masyarakat. Tentu informasinya harus akurat dan bermutu. Demikian disampaikan oleh Hamdan Kurniawan.

Azimah Subagijo menyampaikan lebih rinci bahwa media adalah alat bagi kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. Efek dari media dapat mempengaruhi agenda dan opini masyarakat. Mengutip pernyataan Gungun, Azimah menyatakan bahwa pemilu bukan hanya tentang legal formal saja tapi juga soal persepsi. Di sinilah peran media untuk membentuk persepsi publik. Karena itu Azimah menyatakan bahwa tidak cukup hanya KPI sebagai pengawas. Perlu peran serta masyarakat baik pemilih maupun peserta kampanye agar media berjalan sesuai dengan fungsinya untuk mencerdaskan dan berbudaya. Media harus ikut serta dalam mencerdaskan bangsa menuju pemilu yang berkualitas. Contohnya saat ini banyak pemilih pemula yang tidak tahu bahwa nanti mereka akan mendapat banyak kartu suara untuk masing-masing tingkat (DPR, DPD, dan DPRD) ketika mencoblos. Ini penting diinformasikan oleh media.

Selanjutnya Jawahir Thontowi mengingatkan bahwa peran media sebagai alat pemersatu dan menjaga integrasi bangsa bergeser menjadi alat ekonomi untuk pemilik media. Kita harus membawa perubahan bagi media agar media tetap pada jalurnya. Sebab jika tidak, artinya masyarakat kita akan tertipu oleh media. Jangan sampai peran media mengalahkan peran negara.

Dalam rangka pemilu, untuk menciptakan pemilu yang berbudaya dan cerdas harus bertahap. Hukum secara tekstual tidak mungkin mencapai tujuannya kecuali ada upaya untuk mencapai tujuan dari pembuatan hukum tersebut. Untuk itu memang masyarakat memang harus menjadi cerdas dan berbudaya. Masyarakat harus dibiasakan untuk melakukan Reward And Punishment kepada partai politik yang tidak menepati janjinya. Kemudian lembaga-lembaga yang sah harus memberikan tindakan-tindakan yang tegas dalam mencapai tujuan hukum. Lebih lanjut ia mengingatkan bahwa pemilu adalah ajang evaluasi lima tahunan. Ketika kita gagal memilih dalam pemilu, berarti kita gagal untuk 5 tahun berikutnya. (AQUA)

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.