Jakarta -- Dalam artikel “Is Social Media More Like Cigarettes or Junk Food” yang dirilis laman The New Yorker, Cal Newport, seorang pengarang nonfiksi dari Amerika Serikat, menganalogikan media sosial dengan makanan ringan dan rokok. 

Pada Abad ke-19, kebiasaan merokok pada anak-anak menjadi hal yang dikhawatirkan oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan negara bagian di Amerika Serikat mulai mengeluarkan larangan penjualan tembakau terhadap anak di bawah umur. Dimulai dari New Jersey, New York, hingga lebih dari separuh negara bagian menetapkan undang-undang tentang larangan tersebut.

Beberapa dekade kemudian pada Abad ke-20, muncul iklan Frosted Flakes, produk makanan berupa sereal sarapan berbahan dasar jagung berlapis gula. Menanggapi hal ini, seorang ahli gizi perintis, Jean Mayer memperingatkan Komite Khusus Senat AS tentang Nutrisi dan Kebutuhan Manusia bahwa kategori makanan cepat saji yang semakin umum dapat digambarkan sebagai kalori kosong. Dia menyatakan kandungan dalam produk tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai sereal, melainkan permen, bahkan menyebutknya sebagai bencana gizi.

Hal tersebut rupanya tidak memicu larangan terhadap makanan cepat saji. Sebagai upaya peningkatan gizi, dilakukan sosialisasi tentang piramida makanan dan persyaratan pelabelan gizi.  Namun masifnya promosi produk dan ketiadaan pembatasan membebaskan masyarakat untuk membeli produk dalam jumlah berapa pun. Pada akhirnya permasalahan ini dianggap sebagai masalah yang harus ditangani sendiri oleh keluarga.

Belakangan ini, para ahli mengingatkan bahaya media sosial bagi anak-anak. Frances Haugen, mantan ilmuwan data Facebook yang menjadi whistleblower, mengatakan bahwa media sosial bisa menyebabkan kelompok rentan, seperti gadis remaja menyakiti dan membenci dirinya sendiri. Sementara itu orang tua khawatir bahwa anak-anak mereka akan terdistraksi dan terobsesi pada ponsel secara berkepanjangan, sebagaimana dibuktikan banyak penelitian. Bahkan, seorang dokter bedah dari Amerika Serikat, Vivek Murthy menyatakan perlunya lebel peringatan dari dokter pada platform media sosial, dihubungkan dengan bahaya kesehatan mental bagi remaja.

Amerika Serikat sudah melakukan beberapa upaya yang sudah dilakukan untuk menanggulangi dampak media sosial. Frances Haugen menginspirasi banyak undang-undang tentang media sosial baru. Negara Bagian California mengesahkan undang-undang tentang desain kelayakan usia, yang mencakup ketentuan untuk membatasi pengumpulan data pada anak-anak dan mengurangi fitur desain yang persuasif yang menjadi penyebab berlebihan. 

Sementara itu di Negara Bagian Utah, Undang-Undang Regulasi Media Sosial menambahkan persyaratan bahwa orang tua harus memberikan persetujuan sebelum anak-anak dapat membuat akun. Undang-undang serupa di New York menargetkan algoritma yang merekomendasikan konten kepada anak-anak, mungkin untuk mengurangi daya tarik platform ini. Badan legislatif Negara Bagian Florida yang mayoritas konservatif baru-baru ini bahkan melarang akun media sosial untuk anak-anak di bawah empat belas tahun.

Cal Newport berpendapat bahwa undang-undang ini lebih seperti regulasi makanan cepat saji daripada larangan rokok. Undang-undang ini bertujuan membuat produk yang dimaksud lebih aman dan memberi keluarga lebih banyak alat untuk mengelola bahayanya, tetapi pada akhirnya tetap menyediakannya untuk semua usia.

Lain ladang, lain belalang. Australia melakukan pengesahan undang-undang nasional pertama yang mengharuskan platform media sosial (termasuk TikTok, Facebook, Snapchat, Reddit, X, dan Instagram) melarang pengguna di bawah usia enam belas tahun. Perusahaan-perusahaan tersebut diberi waktu dua belas bulan untuk mencari tahu cara menegakkan hukum atau menghadapi denda yang dapat melebihi tiga puluh juta dolar. Jajak pendapat YouGov mengungkapkan bahwa tujuh puluh tujuh persen warga Australia mendukung undang-undang tersebut.

Untuk memastikan tindakan yang diambil sudah tepat, kita harus memutuskan apakah, bagi anak-anak, media sosial lebih seperti Big Mac (makanan cepat saji) atau Marlboro (rokok). Jika media sosial lebih seperti makanan cepat saji, bisa dikatakan Amerika Serikat sudah menempuh pilihan yang bebar. Jika media sosial lebih seperti rokok, Australia lah yang mungkin memberikan penanganan yang lebih baik. Kita perlu merenungkan mengapa sejak awal, kita memperlakukan makanan cepat saji dan rokok secara berbeda.

Seorang profesor di program Komunikasi, Budaya, dan Teknologi Georgetown, Washington D.C., Meg Jones memusatkan perhatiannya pada dua pertimbangan yaitu nilai pengembangan pada platform serta bagaimana orang tua dapat memberikan bimbingan yang efektif.

Pada awal kemunculannya, media sosial digambarkan dalam istilah utopis, jarang dianggap berbahaya atau menyebabkan ketagihan, sehingga pelarangan akan tampak sewenang-wenang. Namun, beberapa tahun terakhir hal tersebut terkikis. Orang tua bahkan mengeluhkan ketidakmampuan mengendalikan obsesi anak-anak mereka terhadap kehidupan daring. Oleh sebab itu, dari sudut pandang hukum, platform seperti Instagram dan TikTok mungkin memiliki ciri-ciri utama yang sama dengan tembakau. 

Berbagai upaya pengaturan media sosial di berbagai negara akan menghadapi tantangan dan tanggapan yang berbeda. Kemampuan memprediksi bagaimana hambatan hukum dan politik ini akan muncul dalam waktu dekat menjadi hal yang dibutuhkan. Meg Jones berpendapat bahwa bahwa media sosial kemungkinan akan menghadapi pembatasan yang kuat di masa yang akan datang. Untuk pertama kalinya sejak anak-anak mulai menggunakan media sosial, masyarakat tampak siap untuk memperdebatkan apakah sudah waktunya bagi pemerintah untuk bertindak serius.

Minggu lalu, selama beberapa jam, undang-undang bipartisan secara efektif melarang TikTok, sehingga aplikasi tidak bisa diakses oleh seratus tujuh puluh juta pengguna di Amerika Serikat. Namun hal ini disebabkan adanya kekhawatiran atas masalah keamanan nasional, bukan disebabkan oleh kekhawatiran atas dampaknya terhadap anak-anak. Pun, setelah Presiden yang baru berjanji untuk membuat kesepakatan, TikTok kembali, meski belum jelas untuk berapa lama. Dari sini kita bisa melihat bahwa pelarangan terhadap media sosial bukan lagi dianggap sebagai hal yang tabu. Anggita/Red dari berbagai sumber

 

Hak Cipta © 2025 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.