Kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) di Tanah Air bukan hal baru, bahkan berkas aduan bertumpuk, baik yang disampaikan ke Kepolisian, Komnas Perempuan, maupun lembaga pemerhati nasib perempuan lainnya. Tumpukan aduan tersebut pun diindikasikan belum menggambarkan data sebenarnya. Kasus KDRT ibarat gunung es karena diprediksi masih banyak korban yang malu, takut, dan menganggap KDRT masalah privat (internal rumah tangga mereka).
Catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan, jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebanyak 299.911 kasus dan pada 2021 sebanyak 338.496 kasus. Kasus yang dapat dianggap benar-benar KDRT karena ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sekitar 97% dari jumlah tersebut.
Banyaknya kasus KDRT, bahkan diindikasikan lebih banyak ketimbang yang tercatat Komnas Perempuan mengisyaratkan, Pemerintah harus lebih serius dalam menangani kasus-kasus tersebut. Adanya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tampaknya belum cukup menjadi pagar pelindung bagi kaum perempuan, khususnya para ibu rumah tangga. Hukuman jeruji besi pun yang acapkali dijatuhkan pada para pelaku belum dapat menebarkan ketakutan dan kejeraan. Buktinya, tindak KDRT masih tetap terjadi terus menambah tebal catatan buram nasib kaum perempuan.
KDRT Public Figure
Yang memilukan, nasib naas kaum perempuan dan kekejaman oknum kaum lelaki seringkali juga dimainkan oleh para public figure (pf), seperti artis dan aktor. Sejatinya mereka dapat mewadahi harapan ideal memberikan suri tauladan terbaik pada para fans-nya, bukan sebaliknya memberikan pembelajaran buruk. Tampaknya drama KDRT di film-film dan sinetron-sinetron, belum cukup jika tidak mereka mainkan dalam kehidupan nyata.
Seharusnya, para pf paham dengan ajaran Dramaturgis Ervin Goffman (1959) bahwa mereka harus pandai mengelola diri. Pada setiap front stage (panggung depan), mereka harus menampilkan sikap, pemikiran, dan perilaku yang positif. Karena penampilan front stage tidak hanya menyangkut citra diri mereka, tetapi juga berdampak pada perilaku publik, terutama fans mereka.
Apalagi, Teori Psikologi Modelling Miller dan Dollard (1941) pun menegaskan, sifat pembawaan manusia adalah perilaku meniru. Yang dalam pendekatan filsafat Aristoteles disebutkan mahluk mimesis. Manusia sejak lahir dianugerahi karakteristik untuk selalu meniru, sehingga karakter yang dimilikinya bukan karakter dirinya sejati, tetapi hasil perpaduan dengan lingkungan. Lingkunganlah yang membentuk jati diri manusia.
Pf merupakan subjek lingkungan paling dominan berpengaruh pada karakteristik seseorang, selain orang tua dan orang terdekat lainnya. Dari pf yang dikagumi; dibanggakan, dan dicintai, orang-orang belajar me-mimesis-kan dirinya, sehingga sikap, pikiran, dan perilakunya seperti, mirip, atau bahkan menjadi pf. Oleh karena itu, ketika sikap, pikiran, dan perilaku pf buruk, misalnya, menjadi pelaku KDRT, bukan hal yang mustahil berpengaruh pada perilaku publik.
Lebih 14 abad yang silam, Islam pun mengajarkan, dakwah bil hal (perilaku baik) lebih efektif ketimbang dakwah bil lisan. Untuk menguasai sekitar 25% populasi global penduduk dunia, Nabi Muhammad Saw. cukup 23 tahun bersyiar dengan lebih mengedepankan dakwah bil hal. Oleh karena itu, jumhur ulama mengategorikan, hadits yang merupakan sikap, pikiran, dan perilaku Muhammad Saw. menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Bahkan, Allah Swt. menegaskan dalam firmannya bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai uswah hasanah (suri teladan yang baik) bagi umatnya (QS.33: 21). Namun, Islam tidak mengajarkan manusia harus baik pada front stage saja dan boleh buruk pada back stage. Justru Islam mengajarkan jadi pribadi muslim yang kaffah, yakni berakhlak mulai menyeluruh, baik ketika berada pada front stage maupun back stage.
Sinergisitas Sanksi
Masih tingginya angka tindak KDRT di Indonesia dan di antaranya banyak dilakukan oleh pf, tidak hanya memerlukan keseriusan Pemerintah, tetapi juga peran serta semua pihak. Pemerintah harus merevisi peraturan perundang-undangan sehingga sanksinya teruji dapat menjerakan para pelaku. Selain itu, pihak Pemerintah pun harus masif mempublish betapa beratnya hukuman yang dijatuhkan pada pelaku KDRT, sehingga masyarakat mendapat literasi bahwa tindak KDRT bukan hanya menyangkut hubungan privat dalam keluarga, atau tindak pidana ringan, tetapi merupakan bagian dari tindak pidana berat yang sanksinya pun cukup berat.
Setiap warga negara, baik secara personal maupun institusi resmi harus ikut serta memberikan bobot bagi kejeraan sanksi untuk pelaku KDRT. Seperti halnya, inisiatif Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang meminta kepada semua lembaga penyiaran untuk mem-blacklist, para artis, aktor, talen, apalagi sudah menjadi public figure, untuk tampil di layar kaca. Kendati dalam UU Penyiaran atau pun P3-SPS tidak diatur secara tersurat, tetapi sebagai bentuk kepedulian terhadap korban KDRT, inisitif tersebut sangat positif.
Hukum sosial seperti itu terkadang lebih efektif ketimbang sanksi melalui penegakan hukum positif. Hukuman masyarakat terkadang lebih kejam ketimbang hukuman penjara. Namun, yang lebih baik keduanya bersinergi untuk menegakkan tujuan suci bahwa menghukum bukan untuk menyiksa, tetapi membuat jera, sehingga para pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi dan masyarakat pun enggan, takut, dan berniat melakukan tindakan KDRT. ***
Oleh : Mahi M. Hikmat
Dosen Komunikasi Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung