Oleh Yuliandre Darwis, Ph.D
(Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

Pendidikan merupakan hal penting bagi masyarakat untuk memahami isi pesan media massa yang merupakan hasil konstruksi suatu realitas. Dengan pendidikan yang memadai, publik dapat mengerti, memahami, dan bahkan memihak mana tayangan yang benar dan mana tayangan tidak penting bagi dirinya maupun lingkungan sosialnya. Pada kalimat lain, pendidikan adalah instrumen fundamental bagi masyarakat agar publik dapat cerdas di hadapan media penyiaran.

Oleh karena itu, pendidikan literasi media menjadi suatu yang urgen bagi publik dalam memahami isi media atau pesan media maupun makna yang terkandung di dalam media.  John Dewey memandang pendidikan sebagai alat rekonstruksi sosial (social reconstruction; social engineering) yang paling efektif. Pendidikan merupakan lembaga paling konstruktif dalam memperbaiki masyarakat serta membangun masa depan yang lebih baik. Dalam konteks memahami media penyiaran, pendidikan adalah keniscayaan dimiliki masyarakat. Dalam kajian ilmu komunikasi, kemampuan masyarakat memahami media disebut literasi media.

Pendidikan Literasi Media
 
Secara historis perkembangan literasi media di Indonesia terjadi pada abad ke-21 sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan. Baran & Dennis (2010) memandang literasi media sebagai suatu rangkaian gerakan melek media, yaitu gerakan melek media dirancang untuk meningkatkan kontrol individu terhadap media yang mereka gunakan untuk mengirim dan menerima pesan. Melek media dilihat sebagai keterampilan yang dapat dikembangkan dan berada dalam sebuah rangkaian—kita tidak melek media dalam semua situasi, setiap waktu dan terhadap semua media.

Kemampuan individu dalam memahami media merupakan tujuan literasi media. Bagaimanapun di hadapan media, publik harus cerdas dan berdaya. Kita jangan bersikap pasif apalagi permisif terhadap isi pesan media yang memiliki pengaruh besar dalam kesadaran maupun perilaku publik. Itulah sebabnya gerakan literasi media harus dibumikan dalam kehidupan sosial.

Livingstone (2004) mengatakan ada empat komponen literasi media yaitu: (1) Acces (akses), (2) Analysis (analisis), (3) Evaluation, (4) Content Creation yang sama-sama menyatu sebagai suatu skill based (kemampuan dasar) melek media.  Kemampuan-kemampuan tersebut menjadi integral dalam pendidikan literasi media.

Sesungguhnya kemampuan-kemampuan tersebut dapat dibangun melalui pendidikan. Pendidikan literasi media dapat dibumikan dari jenjang pendidikan formal yakni mulai dari sekolah dasar sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Artinya pendidikan kita harus lebih dekat dengan literasi media. Akan lebih baik jika pendidikan literasi media masuk ke dalam kurikulum pendidikan nasional.

Ironi Kaum Terpelajar

Kita sungguh khawatir sebetulnya tatkala kita melihat bahwa konsumen terbesar media penyiaran khususnya televisi merupakan anak-anak dan remaja yang notabene mereka kebanyakan pelajar. Banyak dari pelajar di Indonesia menonton televisi 3 sampai 5 jam dalam sehari. Jika ditotal rata-rata kaum muda terdidik menghabiskan waktu di depan TV 35 jam dalam seminggu. Tidak heran jika kita dianggap sebagai penonton yang tingkat konsumsi TV cukup tinggi. Ini berbeda dengan beberapa negara lain sebut saja  Amerika Serikat yang tingkat konsumsi menonton TV anak di negeri Paman Sam rata-rata 1 sampai 2 jam sehari.

Tingginya tingkat menonton TV bagi pelajar di Indonesia tentu memberi kekhawatiran tersendiri. Itu karena kebiasaan menonton TV pelajar kita yang tinggi tidak diimbangi dengan kemampuan menyaring isi pesan media secara baik. Mereka langsung saja menerima apa yang ditampilkan media tanpa menggunakan nalar kritis secara optimal sehingga publik dengan gampangnya terpengaruh oleh informasi media yang kebenaranya masih perlu diverifikasi.

Padahal kita tahu bersama betapa TV memberi dampak besar pada setiap individu maupun lingkungan sosial. Pada praktiknya, siaran TV menimbulkan efek serius terhadap tiga hal yang begitu urgen pada diri manusia (baca: anak/pelajar). Diantaranya: (1) dampak kognitif, yakni kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. (2) dampak perilaku, yakni proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pemirsa. (3) dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada trend aktual yang ditayangkan televisi.

Mengingat dampak isi pesan media yang besar kepada khalayak sehingga publik diharapkan bisa lebih berdaya di hadapan media penyiaran melalui instrumen pendidikan. Sebuah ironi jika masyarakat apalagi mereka yang tergolong kalangan terpelajar/civitas akademika dapat mudah terpengaruh media. Padahal sudah seharusnya kalangan pelajar dapat lebih mengerti dampak media kemudian mereka memberikan pendidikan melek media kepada yang lain.

Itu karena menyebarkan skill literasi media secara eksplisit maupun implisit sebetulnya menjadi bagian dari implementasi peran pendidikan media. Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 Pasal 4 ayat 1 menyebutkan, penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, dan pendidikan.

Perhatian khusus pemerintah maupun stakeholder pendidikan juga insan penyiaran terhadap urgensi pendidikan literasi media, penulis pikir sudah harus diberikan porsi yang besar. Pendidikan dijalankan bukan sebatas formalitas, melainkan pendidikan seperti dikatakan John Dewey, George Counts, dan Othanel Smith di atas bahwa pendidikan sebagai alat rekonstruksi sosial dan perubahan sosial, termasuk melalui dunia penyiaran.

==========

Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, Jumat 14 Oktober 2016.

Hak Cipta © 2025 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.