Oleh: Mayong Suryo Laksono
Komisioner KPI Pusat Periode 2016 -2019 Bidang Pengawasan Isi Siaran
Perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran 10 stasiun televisi pada 14 Oktober lalu menyertakan sejumlah komitmen dari pejabat tertinggi di stasiun itu. Ditandatangani di atas meterai sehingga memiliki kekuatan hukum sekaligus mengandung konsekuensi hukum. Tentu ini bukanlah sebuah pembatasan atau pengekangan, karena komitmen itu justru akan menjadi rambu penuntun yang memudahkan pengelola televisi memproduksi acara agar minim aduan, protes, dan teguran.
Sembilan lembaga penyiaran televisi swasta berakhir izinnya pada 16 Oktober 2016. Mereka adalah RCTI, SCTV, MNC TV, ANTV, Indosiar, Global TV, TVOne, TransTV, dan Trans7. Sementara izin Metro TV akan berakhir pada 29 Desember 2016, namun perpanjangan izin diberikan bersamaan. Penyerahan izin dilakukan melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dalam hal ini KPID Jakarta, dan disaksikan oleh KPI Pusat, pada 14 Oktober 2016. Hanya berselang hitungan menit setelah dokumen perizinan itu dikirimkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) kepada KPI.
Bagi ke-10 stasiun lembaga penyiaran swasta (LPS) berjaringan itu, perpanjangan merupakan sebuah titik penting dari pengajuan izin yang berproses sejak setahun sebelumnya. Yakni melalui sejumlah langkah seperti uji publik, verifikasi administratif dan faktual, evaluasi dengar pendapat, penerbitan rekomendasi kelayakan oleh KPI berdasarkan rapor kinerja, hingga tiga kali pembahasan secara khusus dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, dan diakhiri forum rapat bersama (FRB) antara KPI dan Kemkominfo. Cukup melelahkan dan menegangkan. Pun dibayangi risiko turunnya harga saham bagi televisi yang sudah go public karena belum adanya kepastian perpanjangan hingga hari-hari terakhir dapat dianggap sebagai ketidakpastian nasib bisnis di bidang pertelevisian.
Antisipasi penyalahgunaan di masa kampanye
Mari kita lihat tujuh komitmen yang ditandatangani oleh para petinggi televisi dan diketahui oleh Ketua KPI itu:
1. Sanggup untuk melaksanakan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dan kebijakan KPI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
2. Sanggup menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial dalam rangka membangun karakter bangsa.
3. Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan isi siaran program jurnalistik, tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran.
4. Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan terkait dengan penyelenggaran Pemilihan Umum meliputi:
a. Pemilihan kepala daerah;
b. Pemilihan anggota legislatif tingkat daerah dan pusat;
c. Pemilihan presiden dan wakil presiden;
d. Kegiatan peserta pemilihan umum (Pemilu) dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta Pemilu;
e. Pemberitaan dan penyiaran yang berbentuk penyampaian pesan-pesan kampanye oleh partai politik kepada masyarakat melalui lembaga penyiaran secara berulang-ulang.
5. Sanggup melaksanakan penayangan yang menghormati ranah privat dan pro justicia yang mengedepankan asas praduga tak bersalah secara proporsional dan profesional.
6. Sanggup untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, antara lain berupa penggunaan bahasa isyarat dalam program siaran berita.
7. Bersedia untuk dilakukan evaluasi secara berkala setiap tahun terhadap seluruh pelaksanaan komitmen dan bersedia untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan evaluasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Meski P3SPS diletakkan di uturan pertama tujuh komitmen itu, sesungguhnya rangkaian enam pernyataan lain dijiwai oleh induk dari P3SPS, yaitu Undang-undang No 32/2002 tentang Penyiaran. Pasal 4 ayat 1 UU No. 32/2002, “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”, diulang dalam komitmen ke-2. Soal karakter bangsa mengacu pada pasal 3 yakni, “… terbinanya watak dan jatidiri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun bangsa yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia”.
Sedangkan soal independensi dan kemandirian penyiaran, baik dalam program jurnalistik maupun pelibatan media penyiaran dalam kampanye Pemilihan Umum, disemangati oleh Pasal 5 ayat (g): “Mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran”.
Selain menegaskan kembali fungsi dan peran ideal televisi, tujuh komitmen itu juga merupakan koreksi atas “kesalahan” sejumlah televisi di masa lalu. Ketika pemilihan presiden (Pilpres) 2014, televisi terpolarisasi menjadi dua: “televisi merah” (TVOne) dan “televisi biru” (MetroTV), dan keduanya mendasarkan penghitungan cepat dari lembaga survey yang hasilnya bertentangan. Oleh karenanya, pada saat itu Komisi Penyiaran Indonesia memberi peringatan dan merekomendasikan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika untuk meninjau kembali izin kedua televisi tersebut, meski sampai pergantian pemerintahan kemudian, tidak ada tindak lanjut ke proses peradilan.
Tahun 2017 akan diwarnai 101 pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik provinsi maupun kabupaten/kota, dan yang skala pemberitaannya paling besar adalah Pilkada DKI Jakarta. Dua tahun kemudian, 2019, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (Pilpres). Agar polarisasi tidak terjadi lagi, juga agar media televisi tidak dimanfaatkan secara berlebihan oleh partai politik atau oleh pemiliknya, ketujuh komitmen di atas dapat menjadi penyaring atau bahkan pencegah penyalahgunaan itu.
Evaluasi dan sanksi
Pada satu sisi, tujuh komitmen bisa dianggap sebagai pembatas – bahkan penghalang – kebebasan berpoduksi. Tapi harap dilihat sisi sebaliknya, itu justru bisa menjadi pedoman dan bahkan tuntunan agar televisi menjalankan fungsi idealnya. Artinya, jika tak ingin menyalahi komitmen – dan mungkin berujung jatuhnya sanksi – ya buatlah program yang sesuai dan selaras dengan itu.
Risiko rating? Itu cerita yang selalu ada, karena setiap program televisi selalu menghadapi hukum besi sistem pemeringkatan untuk menentukan daya jual dan perolehan iklannya. Artinya, di sanalah kreativitas itu makin dituntut, bukan lantas mendesakkan pemahaman bahwa acara yang berkualitas identik dengan rating rendah.
Ini sangatlah relevan kalau kita berbicara tentang sejarah televisi swasta yang tentunya tidak lagi bisa dikatakan muda: 27 tahun. Sudah saatnya sistem pemeringkatan diihat secara berbeda dan tidak lagi disikapi secara sama.
Kembali ke tujuh komitmen, poin terakhir mengenai kesediaan duntuk dievaluasi setiap tahun adalah sebuah kemajuan karena hal itu tidak dilakukan pada masa sepuluh tahun yang lalu. Evaluasi tahunan lebih bersifat pengumpulan data mengenai kelebihan dan kekurangan, semacam rapor tahunan, bukan semata alat untuk mencari kesalahan. Apalagi menjadi jalan untuk menghentikan siaran tanpa televisi melakukan pelanggaran undang-undang untuk diproses di pengadilan.
Review tahunan memang perlu untuk melihat pencapaian atau menjelaskan posisi sebuah stasiun televisi. Karenan dengan begitu Kementerian Kominfo bisa memperoleh data, demikian pula KPI dan Komisi I DPR. Dalam beberapa hal, masyarakat pun berhak mengetahui rapor tahunan setiap televisi yang mereka tonton. Data tahunan itu kemudian dikumpulkan dan digunakan ketika kelak, tahun 2026, izin akan diperpanjang. Jadi tidak seperti yang terjadi pada perpanjangan Oktober tahun ini, ketika data dan dokumen, juga penilaian untuk menentukan rekomendasi kelayakan (RK) dikumpulkan hanya kurang dari enam bulan, pun diragukan sehingga dimintakan perbaikan berulang oleh Komisi I DPR.
Agaknya, bukan hanya ke-10 stasiun televisi yang perlu dievaluasi; proses dan cara menghasilkan komitmen hingga berujung pada keluarnya izin perpanjangan pun perlu dievaluasi.