Jakarta – Peraturan digitalisasi terkait pelaksanaan program digitalisasi ternyata juga menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak yakni televisi lokal. Pasalnya, tidak semua televisi lokal bisa ikut dalam peralihan teknologi dari analog ke digital tersebut. Ini akan menyebabkan banyak dari televisi lokal tersebut berhenti di tengah jalan.
Pelaksanaan digitalisasi akan mengubah tatatan penyiaran Indonesia. Perubahan itulah yang diprediksi menyulitkan televisi-televisi lokal yang notabane tidak siap sepenuhnya di segala aspek.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mochamad Riyanto mengatakan pelaksanaan digitalisasi dalam kontek kepentingan daerah belum dapat dilihat secara jelas terutama untuk televisi-televisi lokalnya. Menurutnya, ini akibat kesalahan dari terlalu terburu-burunya pemerintah mempersiapkan aturan digital.
“Apakah televisi-televisi lokal itu siap. Ini akan mengubah struktur yang ada,” kata Riyanto disela-sela perbincangan dengan kpi.go.id.
Apa yang disampaikan Riyanto sejalan dengan Ketua KPID Jatim, Fajar Arifianto. Dalam wawacara dengan salah satu media, Fajar mengatakan akan ada 50 stasiun televisi lokal di Jawa Timur terancam mati karena Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Digitalisasi Penyiaran. Dalam peraturan tersebut, semua lembaga penyiaran diwajibkan untuk mengubah analog ke digital pada 2018 nanti.
"Pelaksanaan (Peraturan Menkominfo) itu merugikan lembaga penyiaran televisi lokal," kata Fajar Arifianto Isnugroho, dalam seminar yang membahas digitalisasi penyiaran di Surabaya, bulan lalu.
Digitalisasi penyiaran ini memiliki dua tahapan dari sisi kebijakan dan implementasi. Pada 2011 dan 2012 lalu, pemerintah melalui Menteri Kominfo mengeluarkan empat peraturan yang merujuk pada Genewa Agreement, yang dihasilkan International Telecomunication Union.
Peraturan itu, menurut Fajar, mematikan penyiaran televisi berbasis analog dan menggantikannya dengan digital. Namun, secara implementasi, kebijakan ini menguntungkan lembaga penyiaran besar yang termasuk dalam grup-grup besar.
Ia mencontohkan pemenang multipleks jaringan provider yang dikuasai lima media besar, yaitu SCTV, Trans TV, Metro TV, ANTV, dan Global TV. Sedangkan stasiun televisi lokal tidak diberi kesempatan untuk memiliki multipleks. "Kalau dikuasai media-media besar, akan muncul oligopoli baru," ujarnya.
Di Jawa Timur sendiri terdapat 50 stasiun televisi lokal. Mereka akan kesulitan karena untuk memiliki multipleks dibutuhkan dana yang tidak kecil, sekitar Rp 80 juta hingga Rp 100 juta. Sedangkan media besar pemenang multipleks akan dibebani biaya infrastruktur yang baru karena berubah menjadi digital.
Menurut Fajar, target migrasi analog jadi digital pada 2018 terlalu terburu-buru. Seharusnya tetap ada ruang bagi televisi-televisi analog untuk bersiaran. "Jangan di-cut off. Analog tidak dimatikan," katanya.
Di Jepang, misalnya, meski ada keharusan digitalisasi, pemerintahnya tidak mematikan seluruh televisi analog. Bahkan pemerintah Jepang membagikan decoder gratis kepada masyarakat yang masih menerima siaran televisi analog. Kalau harus membeli sendiri, masyarakat tentu harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal. Karena itu, peraturan digitalisasi seharusnya diimbangi dengan pengalokasian anggaran untuk menyukseskan rencana tersebut. Red