Oleh Yuliandre Darwis, Ph.D
(Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)
Pembenahan terhadap dunia penyiaran khususnya televisi mesti dilakukan dari hulu hingga ke hilir. Mulai dari aspek regulasi, kebijakan, infrastruktur, SDM, konten, hingga bicara dampak siaran televisi merupakan wacana strategis yang menjadi perhatian publik maupun pemerintah. Tulisan saya ini mencoba mengurai lebih dalam mengenai kualitas isi siaran televisi.
Sesungguhnya publik sejak lama berharap kualitas isi siaran televisi negeri ini dapat meningkat dari waktu ke waktu. Artinya, program siaran televisi tidak saja mengikuti dari hasil perhitungan jumlah penonton (rating) sebagai rujukan tayangan mereka.
Pengaruh rating yang kuat, yang memberi warna pada program siaran televisi menjadi gelesihan kita bersama. Bahkan, persoalan rating mendapat catatan khusus Presiden Jokowi. Jika diresapi, pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada HUT ke-70 di Senayan 14 Agustus 2015 lalu merupakan pidato bersejarah pada dunia media dan penyiaran sekaligus sebagai titik balik perubahan paradigma maupun pembenahan atas wajah penyiaran nasional.
Media penyiaran diminta tak hanya mengejar rating dan keuntungan belaka. Industri media juga jangan hanya mengedepankan komersialisasi dan mengabaikan kualitas isi siaran. Sesungguhnya pidato Presiden Jokowi harusnya menjadi momentum memperkuat kesadaran reflektif-kritis kita semua. Effendi Gazali, peneliti komunikasi politik dalam sebuah tulisannya di sebuah koran nasional (27/9) bertajuk “Bergeming Setelah Pidato Rating” mengatakan Jokowi telah membuat sejarah.
Baru pertama kali kata ”rating” disebut khusus dalam pidato kenegaraan. Bahkan pada pidato kenegaraan pertamanya di depan MPR. Dalam kesempatan itu Jokowi antara lain menyatakan, ”Lebih- lebih, saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi makin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif. Masyarakat mudah terjebak pada ’histeria publik’ dalam merespons suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional.”.
Tidak saja mengapresiasi perhatian khusus Presiden Jokowi menanggapi rating, Effendi G mengingatkan kembali kepada publik persoalan utama rating. Pertama, apakah rating diukur dengan benar. Ini persoalan validitas dan reliabilitas. Konsistenkah rating di Indonesia dievaluasi, atau lebih tepatnya diaudit?. Persoalan kedua dengan rating menyangkut bagaimana menggunakannya. Apakah seluruh selera pasar harus dipenuhi?
Menariknya, pada bagian akhir tulisan, Effendi G membuat tulisan reflektif. Kini, justru Presiden Jokowi yang melantangkannya. Fakta memang memperlihatkan hasil rating cenderung berjalan berlawanan dengan proses revolusi mental. Setelah sebulan pidato berlalu, apakah DPR, Kemenkominfo, KPI, dan masyarakat sipil telah tepat mengelola momentum ini. Atau memilih bergeming seperti beberapa dekade terakhir?
Lembaga yang Berdaulat
Membenahi dunia penyiaraan nasional, termasuk dari sisi perbaikan kualitas isi siaran televisi menjadi tugas bersama komponen bangsa. Tak terkecuali dijalankan regulator penyiaran, seperti KPI. Sesuai amanat Undang-Undang Penyiaran No. 32/2002, peran KPI tidak ringan. Pada Pasal 7 UU Penyiaran KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Makna penyiaran mempunyai dimensi luas; menyangkut soal perizinan, infrastruktur, SDM, dan konten siaran.
Perbaikan terhadap konten siaran dilakukan KPI dengan berbagai pendekatan. Melakukan fungsi pengawasan secara optimal, memberi sanksi pada lembaga penyiaran yang melanggar peraturan, dalam konteks pengukuran kualitas siaran KPI melakukan kebijakan survei. KPI melansir hasil survei tentang Indeks Kualitas Program Siaran Televisi sejak 2015 hingga saat ini. Survei KPI bekerja sama Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dengan melibatkan 12 Perguruan Tinggi di 12 kota di Indonesia, dengan hasil kualitas program siaran televisi masih belum sesuai harapan publik khususnya infotainment dan sinetron yang ironinya banyak diminati publik berdasarkan rating.
Hasil survei KPI tahun 2016 menunjukan sinetron dan infotainment masih jauh dari kualitas yakni di bawah angka 4 standar kualitas siaran. Pada periode 1 tahun 2016 hasil survei KPI menunjukan kategori sinetron/film mendapat nilai 2,94 dan periode 2 di tahun yang sama memperoleh nilai 2,70. Lalu infotainment pada periode 1 tahun 2016 hasil survei KPI memperoleh nilai 2,52 dan periode 2 di tahun yang sama memperoleh angka 2,64. Ini artinya sinetron dan infotainment di Indonesia masih perlu pembenahan.
Melalui survei, kita mendorong peningkatan kualitas isi siaran. Sebab kualitas isi siaran televisi adalah cermin kebudayaan suatu masyarakat. Lee Loevinger (1968) dalam teori komunikasinya menyatakan bahwa televisi sebagai media informasi merupakan cermin masyarakat yang dapat mencerminkan suatu citra khalayak. Senada dengan itu Edgar Dale menjelaskan melalui teori Cone of Experience, bahwa apa yang ditampilkan media adalah pengalaman realitas masyarakatnya.
Ibarat tubuh, mempunyai wajah bersih dan cantik/ganteng adalah keinginan banyak orang agar enak dipandang. Demikian pula memoles layar kaca, bukan hanya kuantitas tapi perbaikan kualitas isi siaran televisi adalah harapan bersama. Kita ingin menjadi masyarakat dan bangsa beradab dengan sajian program siaran bermutu.
==========
Tulisan ini dimuat di Kompas, Kamis 10 November 2016.