Jakarta -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Ubaidillah meminta lembaga penyiaran agar lebih masif menyajikan program siaran ramah anak dengan memenuhi kebutuhan dan tumbuh kembang anak. Hal ini merespon data 5,5 juta anak yang menjadi korban pornografi dalam kurun waktu 4 tahun.

“Ini tentu menjadi kekhawatiran kita semua. Kami meminta agar lembaga penyiaran lebih masif menyiarkan program siaran anak,” kata Ubaidilah di Jakarta, Senin (22/04/2024).

Menurutnya, konten program siaran yang disajikan perlu memperhatikan aspek mitigasi sampai dengan penanganan pasca kejadian, sehingga angkanya tidak terus naik dan hak-hak anak terlindungi.

“Selain lebih masif, agar diperhatikan oleh lembaga penyiaran siaran ramah anak harus komprehensif. Tidak sepotong-sepotong agar bisa mengedukasi dan meliterasi,” imbuhnya.

Pria kelahiran Lamongan itu juga mengapresiasi dan mengimbau agar lembaga penyiaran mempertahankan konten program siaran anak karena sudah mencapai standar indeks yang ditetapkan KPI. 

“Untuk program siaran anak, kalau merujuk pada data riset KPI sudah bagus memenuhi standar KPI. Tetapi memang perlu ditayangkan lebih masif, perlu terus ditingkatkan,” terangnya.

Mengacu kepada temuan riset indeks kualitas program siaran KPI, program siaran anak tergolong program siaran yang memenuhi standar KPI. Pada tahun 2023 di periode I indeks kualitas program siaran anak mencapai 3.14 dan pada periode II mencapai 3.26.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemanan Hadi Tjahjanto dalam Konferensi Pers di Jakarta Pusat, Kamis (18/4/2024), mengatakan Indonesia saat ini berada di peringkat kedua di ASEAN dan keempat di dunia dengan mengutip laporan yang dikeluarkan oleh National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC). */Met

 

Purwokerto -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat terus mengasah kemampuan masyarakat untuk bijak memanfaatkan media khususnya TV dan radio melalui kegiatan literasi berkelanjutan. Fungsi literasi sangat penting terlebih di masa sekarang dimana informasi dan hiburan yang diterima publik datang tanpa bisa dibatasi terutama yang berasal dari media baru.

Anggota KPI Pusat Mimah Susanti, saat membuka kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (18/4/2024), mengatakan masyarakat yang melek media memiliki kemampuan untuk menangkal dampak negatif yang berasal dari informasi maupun hiburan yang berasal dari media apapun. 

“Literasi ini bagian dari upaya meningkatkan kemampuan kita agar kita tidak terperangkap dalam informasi yang salah,” tambahnya di depan peserta literasi yang hadir. 

Saat ini, lanjut Mimah Susanti, informasi dan hiburan yang diterima masyarakat tidak hanya berasal dari TV dan radio. Media baru seperti media sosial atau media berbasis internet menjadi pilihan lainnya. Sayangnya, media-media ini tidak memiliki payung hukum atau regulasi. 

“Kendala dari media sosial, kita tidak bisa mengawasinya. Karena yang diawasi KPI hanya media TV dan radio. Keberadaan media TV dan radio diatur dalam undang-undang penyiaran,” kata Mimah Susanti.  

Meskipun tidak lagi menjadi media pilihan utama masyarakat, Mimah menilai posisi TV dan radio justru semakin dibutuh sebagai media verifikator atas informasi yang beredar di media sosial. “TV dan radio adalah media verifikasi karena bisa dipertanggungjawabkan. Karenanya, biasakan untuk mencari informasi dari media rujukan,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Anggota DPR RI Siti Mukaromah, menyatakan masyarakat berhak mendapatkan pemahaman tentang melek media. Literasi ini untuk memupuk sikap kritis dan bijak masyarakat dalam memanfaatkan media. 

“Harapannya masyarakat dapat menjadi lebih arif dalam bermedia dan ketika menyampaikan informasi tersebut kembali ke masyarakat, tidak salah dalam penyampaiannya,” katanya.

Siti Mukaromah menegaskan, negara ikut bertanggung jawab melindungi masyarakatnya untuk memperoleh informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Perlindungan tersebut di atur dalam UU Penyiaran tahun 2002. 

Perkembangan media yang begitu cepat juga menjadi perhatian utama Anggota DPR dari Komisi VI ini. Kehadiran gadget (mobile phone) menyebabkan informasi yang terima masyarakat makin cepat. Situasi ini memang tidak bisa dihindari, namun yang terpenting bagaimana membentuk sikap bijak publik atas informasi yang diterimanya. 

“Tidak mudah menyampaikan info yang tidak layak dan tidak manfaat. Informasi tersebut sebaiknya kita saring dulu sebelum di sharing. Masyarakat harus mampu memfilter diri, filter pikiran yang ingin bebas upload informasi apapun. Kita harus bantu mereka agar tidak menjadi bagian dari hal-hal yang berperilaku desktruktif. Karena secara sadar dan tidak sadar itu sering kita lakukan. Bantu diri kita menjadi orang yang bijak dalam memanfaatkan media,” tukasnya.  

Pentingnya literasi turut disampaikan Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) Mukayat Al Amin. Literasi ini merupakan langkah awal dalam menangkal dampak negatif dari era globalisasi. “Globalisasi ini menjadikan tidak ada sekat-sekat budaya dan lainnya. Ini salah satu alasan dari pentingnya kegiatan literasi,” katanya.  

Selain itu, faktor lain yang menyebabkan literasi diperlukan masyarakat karena rendahnya tingkat literasi di Indonesia. Berdasarkan data survei yang disampaikan Mukayat, tingkat literasi masyarakat di Indonesia menempati urutan ke 60 dari 66 negara di Asia.  

“Tingkat literasi kita masih di angka 62%. Dibanding dengan Korea Selatan, mereka sudah mencapai 90%. Padahal rata-rata negara di Asia sudah di atas 70%. Literasi itu penting. Ini menjadi kewajiban kita semua untuk mengedukasi 277 warga Indonesia,” tuturnya.

Pada kesempatan itu, Mukayat meminta peserta khususnya para orang tua untuk mengajarkan anak-anak menonton sesuai klasifikasi tontonan. Literasi ini, lanjutnya, menjadi salah satu upaya untuk mengajak seluruh masyarakat agar bisa memilah tontonan yang baik. 

“Anak-anak kita harus kita kasih edukasi yang tepat. Tontonan yang tepat bagi mereka. Hoaks ini menjadi persoalan. Karena memilah dan memilih berita juga penting,” ungkapnya. 

Sementara itu, Dekan fakultas Dakwah UIN (Universitas Islam Negeri) Muskinul Fuad, menyampaikan perlunya keberanian dalam menyikapi informasi maupun hiburan yang salah. Menurutnya, sikap ini dapat diasah melalui kegiatan literasi. 

“Kebiasaan pengggunaan media pun harus diperhatikan. Saat ini, ketergantungan pada media ini sangat besar. Etika perlu diperkuat dalam bermedia. Saring sebelum sharing. Ini harus diutamakan dan jadi etika masyarakat. Kita perlu memunculkan agen-agen literasi untuk meminimalisir dampak buruk dari media baru tersebut,” tutup Muskinul Fuad. ***/Foto: Abidatu Lintang 

 

Jakarta – Perlunya media baru diatur dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran banyak digaungkan kelompok jurnalis di tanah air termasuk Asosiasi Jurnalis Video (AJV). Alasan besarnya, konten-konten dari media ini banyak yang tidak layak tonton.  

“Hadirnya media baru cukup cepat dan harus segera diatur dengan tegas,” kata Ketua Umum AJV, Chandra, di acara Seminar Nasional ““Reposisi Media Baru dalam Diskursus Revisi UU Penyiaran” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di bilangan Senen, Jakarta, Selasa (2/4/2024).

Menurut Chandra, keinginan ini tidak lepas dari terlalu bebasnya isi konten di media ini, sedangkan pengawasannya tidak ada. “Oleh karenanya harus segara dilakukan pengawasan terhadap media ini,” tambahnya.

Dia berharap, proses RUU Penyiaran yang sedang digulirkan Komisi I DPR RI mengakomodasi pengaturan media ini. Bahkan, terkait pengawasan siaran atau kontennya dapat diserahkan ke KPI. 

“Sangat tepat wewenang kontrol media baru ini di KPI, karena selama ini yang diawasinya hanya media konvensional. Saya berharap pembaharuan undang-undang tentang penyiaran dapat secepatnya disahkan,” tutur Chandra penuh harap.

Di tempat yang sama, Anggota KPI Pusat Tulus Santoso, mengatakan definsi media baru tidak diakomodir dalam UU Penyiaran 2002. Hal ini karena siaran media baru tidak masuk kategori siaran terestarial lantaran menggunakan medium internet. “Istilah namanya yaitu platform digital,” ujarnya.

Dalam perkembangannya, platform media ini tumbuh begitu cepat yang kemudian memunculkan platform seperti youtube, netflix, tiktok dan lainnya. Dinamika ini, kata Tulus, dikhawatirkan akan menenggelamkan keberadaan TV dan radio. 

Tidak hanya itu, hal lain yang mesti dikhawatirkan adalah kemudahan akses. Situasi ini tentu akan membuka celah bagi siapapun termasuk anak-anak untuk menjelajah situs, aplikasi ataupun platform yang berbau pornografi. “Di dalam platform digital, kita dapat dengan mudah melihat, menyaksikan atau melihat adegan pornografi tanpa harus memakai VPN,” ujar Tulus.  

Hal ini berbeda dengan perlakuan yang diterima TV dan radio. Dua media ini, seluruh siarannya ada di bawah pengawasan KPI. 

“Kepentingan KPI selama ini menjalankan amanat negara untuk kemudian memastikan frekuensi publik itu dapat bermanfaat dan bisa melindungi warganya terhadap isi siarannya yang berkualitas dan ini berbeda dengan media baru,” ujar Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat.

Di tempat yang sama, Dewan Pembina AJV, Nugroho F Yudho, menegaskan perlunya pembatasan terhadap sosial media atau media baru. Hal ini disebabkan oleh dampaknya yang luas. “Contoh pada kasus Brexit yang membuat Inggris keluar dari Uni Eropa lewat referendum.  Hal itu disebabkan oleh adanya pasukan digital yang digunakan sebagai kendaraan untuk melakukannya,” katanya.   

Kendati demikian, lanjut Nugroho, belum ada satu negara pun yang bisa secara efektif mengatur tentang sosial media. 

Sebelumnya, di awal seminar, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menyampaikan perlunya RUU Penyiaran memasukan penjelasan tentang definisi media baru. Hal ini untuk meminimalisir ketidakjelasan definisi dari media tersebu. 

"Ini media sosial, media digital, media baru, atau apa? Agar definisinya jelas. Jangan sampai nanti ketika itu disahkan, siapa pun lembaga, baik KPI ataupun yang lain yang diamanahi pengawasan dan mengaturnya, tidak melampaui kewenangannya," tuturnya. ***/Foto: Teddy Brai 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menjatuhkan sanksi administratif teguran tertulis untuk program siaran yakni “SauRans di Net” di stasiun TV Net dan program siaran jurnalistik “Metro Siang” di stasiun TV Metro TV. Kedua program siaran ini telah melanggar ketentuan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Demikian ditegaskan KPI Pusat dalam dua surat teguran yang telah dilayangkan ke masing-masing stasiun TV, beberapa waktu lalu.

Menurut keterangan dalam surat teguran untuk “SauRans” di NET, pelanggaran ditemukan pada tayangan “SauRans di NET.” tanggal 13-14 Maret 2024 pukul 03.49 WIB, Program berklasifikasi R13+ secara live ini menampilkan anak di bawah umur. Berdasarkan ketentuan P3 Pasal 14 ayat 1, setiap program siaran wajib memberi perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai penggolongan program siaran.

Merujuk P3 Pasal 14 ayat 2, setiap lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran. Hal ini juga diperkuat dalam SPS Pasal 15 ayat 4 bahwa setiap program siaran langsung yang melibatkan anak-anak dilarang disiarkan melewati pukul 21.30 waktu setempat.

Terkait sanksi ini, Anggota KPI Pusat, Tulus Santoso mengatakan, setiap lembaga penyiaran harus mengikuti aturan P3SPS tentang pelibatan anak dalam siaran. Menurutnya, keterlibatan anak dalam siaran memiliki batasan dan itu diatur dalam P3SPS KPI. “Aturan ini dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kuat seperti soal psikologis anak, waktu aktif anak dan lain sebagainya. Hal-hal ini diatur demi kebaikan anak tersebut,” tambahnya. 

Sementara itu, pelanggaran pada siaran jurnalistik “Metro Siang” ditemukan pada 9 Maret 2024 mulai pukul 11.14 WIB. Dalam siarannya ditampilkan pemberitaan tentang “Seorang Ibu Mengidap Skizofrenia Bunuh Anak Kandung” yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Pemberitaan tersebut tidak ada penyamaran terkait visual korban pembunuhan yang bersimbah darah.

Berdasarkan hasil pleno penjatuhan sanksi, visualisasi gambar tersebut telah melanggar 6 pasal di P3SPS. Pasal-pasal ini terkait penerapan prinsip-prinsip jurnalistik dan aturan peliputan tentang bencana.

Anggota KPI Pusat Aliyah menjelaskan, peliputan dan/atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena musibah bencana wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut yakni tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga yang berada pada kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi korban dan/atau keluarganya untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya.

“Di ketentuan SPS Pasal 50 huruf d dijelaskan setiap program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah dilarang menampilkan gambar korban atau mayat secara detail dengan close up. Hal ini pun dipertegas dalam SPS Pasal 50 huruf e bahwa program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah dilarang menampilkan gambar luka berat, darah, dan/atau potongan organ tubuh,” tegas Aliyah.

Atas dua sanksi ini, baik Tulus maupun Aliyah meminta kepada Net dan Metro TV untuk segera melakukan perbaikan internal dan tidak lagi mengulangi pelanggaran serupa. Mereka juga meminta kedua TV dan lembaga penyiaran lainnya agar lebih berhati-hati dan memperhatikan aturan yang berlaku dalam P3SPS sebelum penayangan. ***

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berharap Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran mengatur tentang media baru termasuk penjelasan tentang definisi medianya. Hal ini disampaikan Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, di sela-sela acara Seminar Nasional “Reposisi Media Baru dalam Diskursus Revisi UU Penyiaran” di bilangan Senen, Jakarta, Selasa (2/4/2024).

"Ini media sosial, media digital, media baru, atau apa? Agar definisinya jelas. Jangan sampai nanti ketika itu disahkan, siapa pun lembaga, baik KPI ataupun yang lain yang diamanahi pengawasan dan mengaturnya, tidak melampaui kewenangannya," katanya. 

Selain itu, Ubaidillah mendorong perlunya penguatan kelembagaan KPI diatur dalam revisi UU Penyiaran, meliputi hubungan KPI Pusat dengan KPI Daerah (KPID).

Ia menjelaskan saat ini hubungan antara KPI Pusat dengan KPID sebatas koordinasi sehingga ke depan diharapkan bersifat struktural agar koordinasi dan penganggarannya semakin baik.

"KPID dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya hari ini 33 provinsi, secara anggaran maupun kelembagaan sedang tidak baik-baik saja karena banyak yang anggarannya juga terbatas, sehingga berkegiatan tidak semua bisa maksimal," katanya.

Berikutnya, Ubaidillah mengharapkan revisi UU Penyiaran memberikan kewenangan tambahan kepada KPI tentang audit lembaga pemeringkatan atau rating program siaran. 

"Bahwa rating ini selama ini hanya tunggal lembaganya sehingga harapannya ke depan ada inisiasi baru, baik di milik negara ataupun swasta. Dengan begitu, ada pembanding ketika lembaga penyiaran melakukan pemeringkatan program siarannya," jelasnya.

Di tempat yang sama, Anggota KPI Pusat Tulus Santoso, menyatakan pengaturan konten isi siaran dalam RUU Penyiaran dilakukan demi kepentingan publik.

"Untuk kepentingannya siapa? Yang jelas di sini adalah bahwa tadi berkali-kali isunya adalah tentunya masyarakat. Ada isu perlindungan kepada penonton di situ. Apakah kemudian nanti ada penonton lain yang akan dirugikan? Kemungkinan besar (iya)," kata Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat.

Tulus menjelaskan salah satu bentuk pengaturan konten isi siaran demi kepentingan publik adalah saat film bermuatan sadis tayang di televisi. "Harusnya teman-teman akan senang kalau ada (film sadis) di televisi. Teman-teman bisa menonton. Akan tetapi, karena di televisi dibatasi, jadi enggak asyik lagi, jadi ada yang dirugikan, tetapi ada yang terlindungi. Bahwa ada orang-orang di luar sana yang enggak bisa melihat kekerasan sadis, termasuk anak-anak, remaja, gitu, ya," jelasnya.

Ia mengatakan apabila negara mencoba memfasilitasi seluruh keinginan publik terhadap isi siaran maka negara dianggap telah gagal.

"Bahwa ada berbagai kepentingan yang muncul dan itu harus difasilitasi, apakah kemudian (perlu) menyenangkan 270 juta penduduk Indonesia? Tidak, karena kalau kita mencoba untuk menyenangkan semua orang, di situlah kita sudah gagal. Jadi, bagaimanapun itu maka agregasi kepentingan itu harus tetap dijaga," katanya.

Tulus menambahkan apabila masyarakat menginginkan KPI tidak mengatur konten isi siaran maka dipersilakan menyuarakan pendapat kepada DPR RI sebagai pembentuk undang-undang.

"Kalau publik menginginkan KPI enggak usah mengatur kontennya, isi siarannya, dilepas aja semuanya, silakan suarakan itu agar pembentuk undang-undang memerintahkan KPI tidak masuk ke ranah tersebut. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa ada yang namanya, istilahnya kepentingan publik. Itu bukan cuma kelompok Islam, bukan cuma kelompok Kristen, bukan cuma Hindu, bukan cuma Buddha, bukan cuma Aceh, Jawa, Kalimantan, Papua," ujarnya. *

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.