Surakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuka ruang masukan atas draft Revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebelum diputuskan menjadi hukum tetap. Revisi P3SPS menjadi program prioritas hasil dari rekomendasi Rakornas KPI untuk menghadirkan pedoman penyiaran pengganti yang sesuai dengan dinamika industri penyiaran. 

Saat ini, pedoman yang berlaku dan menjadi acuan bersiaran bagi media penyiaran (TV dan radio) yakni P3SPS tahun 2012. Pedoman ini dinilai perlu dilengkapi dengan aturan-aturan yang menyesuaikan dengan perkembangan konten industri penyiaran. 

Dalam sambutan awal acara Seminar Masukan Draft Revisi P3SPS Bersama Stakeholder Penyiaran di Monumen Pers Nasional, Surakarta, Jawa Tengah (Jateng), Sabtu (16/3/2024), Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyampaikan, forum ini merupakan bagian dari upaya pihaknya mendapatkan masukan dan pendapat dari publik atas draft revisi P3SPS. 

Menurutnya, masukan dan pendapat masyarakat akan menjadi bahan pertimbangan sebelum draft revisi aturan ini ditetapkan menjadi peraturan resmi. Selain itu, lanjut Ubaid, kepentingan revisi ini tidak lepas dari makin massifnya pengaruh dari hadirnya media baru. 

“Kami berharap forum perbaikan P3SPS menjadi forum penyamaan persepsi antara regulator dengan pelaku industri penyiaran. Terlebih hadirnya media baru yang perlu segera disikapi. Perlu kita cari solusi bersama untuk memastikan konten siaran dan lembaga penyiaran semakin berkualitas," ucap Ubaidillah.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari menyampaikan, pihaknya berharap penerapan aturan media penyiaran dan media digital dapat dilakukan secara adil melalui revisi UU (Undang-undang) Penyiaran. Menurutnya, regulasi penyiaran baru ini akan melindungi masyarakat dari segala bentuk siaran dan informasi negatif.

“Tujuannya (membentuk peraturan) bukan masalah ini diawasi, itu tidak. Namun, masyarakat yang nonton ini yang harus kita lindungi dari tontonan-tontonan yang nggak bener,” ujar Abdul Kharis di depan para peserta yang hadir langsung dan daring.

Sementara itu, Wakil Ketua KPID Jateng, Achmad Junaidi mengatakan, salah satu yang menjadi harapan KPID adalah penguatan kelembagaannya. Penguatan ini terkait masa jabatan hingga kemampuan pengawasan siaran di tingkat daerah.

“Pengawasan tersebut yang dapat memastikan isi siaran memberikan pengaruh baik pada moral masyarakat. Saya yakin bahwa KPI adalah penjaga moral bangsa,” harapnya. 

Pada seminar ini, turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat sekaligus Koordinator bidang PKSP (Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran) Muhammad Hasrul Hasan, Anggota KPI Pusat, Tulus Santoso, Aliyah, Amin Shabana, Mimah Susanti, Evri Rizqi Monarshi dan I Made Sunarsa serta Kepala Sekratariat KPI Pusat, Umri. Hadir pula Anggota KPI Daerah dari seluruh Indonesia secara daring, para mahasiswa, pelaku industri media, dan juga perwakilan akademisi. Abidatu Lintang

 

Solo - Usaha Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjaga kualitas siaran di televisi dan radio, tidak hanya terpaku pada penindakan dan penjatuhan sanksi. Pada sisi pencegahan, KPI terus melakukan pembinaan pada lembaga penyiaran termasuk melalui kegiatan Bimbingan Teknis Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Selain itu, KPI juga melakukan literasi dalam rangka meningkatkan selera masyarakat terhadap siaran di televisi dan radio. Hal tersebut disampaikan Tulus Santoso, selaku Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat dalam kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa degan tema Menjaga Kemuliaan Ramadan Melalui Kualitas Program Siaran, (14/3). 

Dua hal tersebut merupakan langkah intervensi KPI dalam supply dan demand atas program siaran. Pada aspek supply, intervensi dilakukan dengan terus membangun pemahaman pada lembaga penyiaran agar menjadikan P3SPS sebagai panduan produksi siaran. Pada aspek demand, KPI melakukan intervensi selera masyarakat agar terbiasa hanya menonton atau mendengar program siaran yang baik dan positif saja.

Di satu sisi literasi yang merupakan salah satu usaha intervensi ini, tidak mungkin mengesampingkan konten di media baru atau media dengan platform internet. “Dalam berbagai kesempatan literasi, kami juga menyinggung konten yang muncul di media baru, sebagai bentuk eskalasi literasi,” ujar Tulus. Pertimbangannya adalah konsumsi masyarakat pada media baru saat ini sudah melampaui media konvensional seperti televisi, radio dan koran. Karenanya literasi atas konten media baru juga menjadi kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi. 

Selama ini, negara, melalui KPI telah melakukan pengawasan terhadap konten di televisi dan radio, tapi untuk konten di media baru, justru kita kecolongan. “Kalau kita lihat media sosial di malam Minggu, trendingnya adalah perempuan yang hanya mengenakan BH. Open BO, istilahnya,” ungkap Tulus. KPI banyak menerima aspirasi agar televisi berkualitas, sinetronnya diharapkan lebih baik, variety show juga demikian. Namun di Tiktok, misalnya, yang menonton orang joget sangat banyak. Padahal, kontennya hanya joget-joget dari malam sampai pagi, agar dapat koin dan juga gift. Belum lagi ada konten perang koin, dengan konsekuensi yang kalah dikerjain diguyur tepung dan sebagainya. “Yang menonton konten seperti ini ribuan, sedangkan ada yang main musik sambil menyanyi dengan lagu yang enak, tapi penontonnya minim,” ujarnya. Konten seperti ini di media baru, tidak ada aturannya. Sedangkan di televisi dan radio, aturannya sangatlah ketat, tidak bisa sembarangan menyiarkan asal-asalan. Hal seperti ini, ungkap Tulus, harus jadi bahan literasi bagi masyarakat di setiap daerah. 

Ketua Panitia Kerja Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengungkap, pengaturan media baru akan menjadi pembeda signifikan antara undang-undang penyiaran yang baru dan yang eksisting. Saat ini, perkembangan RUU Penyiaran tahapannya sedang ada di Badan Legislasi. Abdul Kharis optimis, aturan ini dapat disahkan di akhir masa bakti anggota DPR periode 2019-2024. 

Wakil Ketua Komisi I DPR RI ini menerangkan, semangatnya, dalam revisi yang tengah dibahas itu, kita menginginkan ada perlakuan yang sama bagi semua platform media, agar prinsip keadilan dapat terjaga. “Bagaimana mungkin televisi dan radio yang terselenggara dengan modal yang besar, pengurusan izin yang panjang, serta pengawasan yang ketat terhadap konten, harus berhadapan dengan pembuat konten di media baru yang hanya bermodalkan kamera handphone, langsung melakukan siaran seenaknya tanpa ada pengawasan sama sekali,” urainya. Ironisnya, tayangan di media baru itu banyak ditonton oleh masyarakat karena tidak ada pengawasan sama sekali. “Jadi konten di media baru akan diatur,”tegasnya. 

Pada prinsipnya, pengaturan konten media bertujuan agar hadirnya program siaran yang berkualitas dan juga bermanfaat bagi publik. KPI mengharapkan, penganugerahan yang diberikan pada program siaran yang dinilai berkualitas, dapat menjadi rujukan bagi masyarakat saat menikmati siaran. “Meskipun kami sadar, tayangan berkualitas belum tentu berbanding lurus dengan iklan dan penghasilan yang didapat pengelola televisi dan radio,” ujarnya.

 

Namun jika ada satu program berkualitas yang dapat menghasilkan rupiah secara signifikan, seharusnya hal tersebut juga dapat dilakukan rumah produksi atau lembaga penyiaran yang lain. Misalnya, sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) yang sudah belasan tahun hadir di layar kaca. “Kenapa hanya PPT yang bisa, sedangkan sinetron lainnya tidak,” tanya Tulus.

Di akhir diskusi Tulus menerangkan,  pada era liberalisasi sekarang, kalau siaran tidak baik itu tidak ditonton, maka angka kepemirsaannya berkurang dan ujungnya tidak akan diproduksi lagi. Demikian juga sebaliknya, kalau tayangannya masih muncul, berarti penontonnya masih ada dan angka kepemirsaannya menunjukkan bahwa kelayakan untuk terus diproduksi.

 

 

Padang -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Asosiasi Desa Kreatif Indonesia (ADKI) melakukan sinergi dalam upaya pengembangan industri penyiaran digital di Indonesia. Sinergi saling menguatkan ini akan dituangkan dalam bentuk program yang muaranya menciptakan konten-konten kreatif dan berkualitas. 

Anggota KPI Pusat, Amin Shabana mengatakan, kolaborasi antara KPI dan ADKI memiliki tujuan yang sangat jelas. Selain itu, lanjutnya, kepentingan kolaborasi dengan ADKI ini karena industri penyiaran bagian dari industri kreatif nasional. 

“Harapannya, kedua lembaga ini bisa saling melakukan sinergi dalam bentuk program," ujarnya di sela-sela acara Pengembangan Eksosistem Penyiaran Digital yang diselenggarakan KPI Pusat di Gedung Bagindo Aziz Chan Youth Center, Kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (15/3/2024). 

Terkait hal itu, Amin memandang persiapan ekosistem penyiaran digital menjadi sangat krusial dan harus dilakukan mulai dari hulu ke hilir. Artinya, perlu ada penguatan mulai dari regulasi hingga dukungan bagi para kreator konten.

Ketua ADKI, Fikri El Aziz, menggarisbawahi potensi besar yang dimiliki oleh desa-desa kreatif dalam menghasilkan konten penyiaran yang kreatif dan berkualitas. "Desa kreatif adalah masa depan bagi pariwisata desa. Desa kreatif merupakan bagian dari startup dengan konten-konten kreator yang dapat menghasilkan pemasukan di desa tersebut," ungkapnya. 

Dengan demikian, lanjut Fikri, kerjasama antara KPI dan ADKI diharapkan akan memperkuat pembangunan ekosistem penyiaran digital di tingkat lokal.

Praktisi Komunikasi Reno Reymond Okto, menyoroti pentingnya akses informasi sebagai tulang punggung bagi pemberdayaan masyarakat Indonesia. Menurutnya, kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci dalam meningkatkan akses informasi publik yang benar dan tepat. 

"Tantangan-tantangan dalam mengakses informasi publik perlu diatasi melalui upaya bersama antara lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan publik," tuturnya.

Sementara itu, Anggota KPID Sumbar, Dasrul, memaparkan bagaimana peran penyiaran dalam eksplorasi budaya lokal. "Penyiaran dapat memperkenalkan, mempromosikan, dan mengangkat identitas budaya lokal melalui program-program yang menyoroti warisan budaya, tradisi, bahasa, dan seni lokal," katanya. 

Namun, lanjut Dasrul, ada beberapa hambatan yang perlu diatasi, seperti komersialisasi dan globalisasi konten serta keterbatasan sumber daya.

Dengan adanya sinergi antara KPI dan ADKI serta pemahaman mendalam akan peran penyiaran dalam mengangkat budaya lokal, diharapkan industri penyiaran digital di Indonesia dapat semakin berkembang secara berkelanjutan. Melalui kolaborasi yang kuat dan kesadaran akan pentingnya akses informasi dan eksplorasi budaya lokal, Indonesia dapat menjadi pusat kreasi dan inovasi dalam dunia penyiaran digital. Sehingga, cita-cita untuk meningkatkan kualitas dan konten penyiaran digital dapat terwujud dengan baik. Jun Jun/Foto: Agung R

 

 

Jakarta -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Ubaidillah, menekankan pentingnya pemahaman dan penguatan tentang moderasi beragama di Indonesia. Menurutnya, upaya untuk membentuk karakter moderat beragama di kalangan masyarakat tersebut sangat efektif melalui siaran di lembaga penyiaran. 

“KPI sudah memulainya di lembaga penyiaran itu sendiri dan salah satunya melalui surat edaran KPI agar lembaga penyiaran tidak bersiaran atau menghentikan siaran pada saat hari raya nyepi di seluruh wilayah provinsi Bali dan sekitarnya,” ujar Ubaidillah di acara Silaturahim dengan Penanggungjawab Program Siaran Agama di Media yang diselenggarakan Direktorat Penerangan Agama Islam Kementerian Agama (Kemenag) di Jakarta, Jumat (15/3/2024).

Tidak hanya itu, kata Ketua KPI Pusat, pihaknya juga mengeluarkan surat edaran siaran selama bulan Ramadan. Intinya, edaran tersebut meminta lembaga penyiaran menyelaraskan siaran dengan nilai-nilai Ramadan. 

“Kami menyampaikan tentang misalnya perlu mengedepankan pendakwah yang kompeten dengan kandungan dakwah yang menyejukkan, bernilai kebangsaan. Juga soal tata cara berpakaian hostnya hingga meminta durasi tayangan keagamaan ditambah. Kami serahkan seperti apa bentuknya semuanya ke lembaga penyiaran. Mau dalam bentuk acara sinetron, talkshow ataupun ajang pencarian bakat. Tertib informasi keagamaan itu penting. KPI sudah menekankan itu,” jelas Ubaidillah.

Dia menambahkan, bentuk moderasi beragama dalam siaran yang juga ditekankan KPI yakni soal penghormatan terhadap keberagaman. Menurut Ubaid, keberagaman bangsa ini harus diartikan bagian dari rahmat yang berikan Allah SWT. “Jangan jadikan keberagaman ini sebagai masalah, tapi jadikan rahmat,” katanya.

Upaya lain KPI dalam mendukung moderasi beragama lewat penyiaran yakni dengan mendorong lembaga penyiaran memberi ruang siaran yang sama bagi setiap agama. “Baru TVRI saja yang ada. Padahal, ini salah satu bentuk toleransi. Ini harusnya diakomodir oleh lembaga penyiaran. Isinya menyebarkan nilai-nilai kebangsaan dan pesan positif lainnya. Porsinya sesuai kebutuhan tapi harus diakomodir semuanya,” pinta Ubaidillah.

Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kemenag, Kamaruddin Amin, menyampaikan pentingnya memperbanyak informasi keagamaan yang mencerahkan di bulan Ramadan. "Bulan Ramadan ini momentum yang tepat untuk memasifkan informasi keagamaan yang mencerahkan. Momentum ini harus dimanfaatkan agar pesan keagamaan sampai pada masyarakat," ujarnya.

Dia juga menyoroti kebiasaan unik masyarakat Indonesia yang mendengarkan ceramah keagamaan khusus setelah salat Isya atau Tarawih. Menurutnya, hal ini menunjukkan antusiasme yang tinggi dalam mendengarkan pesan-pesan keagamaan selama bulan suci Ramadan.

Kamaruddin menyatakan pentingnya sinergi antara Kemenag dan media dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang mencerdaskan umat. "Pentingnya sinergi dan kolaborasi dengan media dalam menyambungkan pesan keagamaan untuk mencerdaskan umat. Kami tidak bisa berbuat banyak tanpa keterlibatan media," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Penerangan Agama Islam, Ahmad Zayadi, menekankan pentingnya kompetensi yang memadai bagi penceramah yang tampil di media televisi dan radio. Menurutnya, penceramah yang tampil harus memiliki ilmu, pengalaman, dan wawasan yang memadai serta memberikan contoh keteladanan kepada masyarakat.

"Ke depan, kita harus bisa memastikan ceramah keagamaan yang dilakukan itu sampai kepada pihak yang otoritatif. Punya ilmu, pengalaman, dan wawasan," terangnya. ***

 

 

Solo - Siaran keagamaan di lembaga penyiaran selayaknya mengedepankan muatan meningkatkan ketaqwaan dan keimanan bagi ummat muslim yang tengah menjalankan ibadah di bulan Ramadan. Salah satunya dengan menyampaikan materi-materi keislaman dengan narasumber yang kompeten dan sudah tersertifikasi oleh lembaga yang berwenang. Sedangkan terkait adanya perbedaan khilafiyah, sebaiknya lembaga penyiaran tidak mengekspos secara berlebihan perbedaan di masyarakat tersebut. Hal ini disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Ubaidillah, di sela kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang digelar di kota Solo, (14/3). 

Kita harus memahami, bahwa Indonesia ini beragam, ujar Ubaidillah. Untuk itu, adanya perbedaan khilafiyah dan furuiyah dalam agama juga harus dihargai, bukan untuk dieksploitasi sebagai materi siaran. Misalnya saja dalam penentuan awal Ramadan tahun ini sudah ada perbedaan dan itu sudah biasa terjadi di masyarakat kita. “Lembaga penyiaran tidak perlu mempertontonkan perbedaan tersebut, karena pada prinsipnya masing-masing organisasi masyarakat punya rujukan dan tuntunan hukum sendiri, yang diperbolehkan dalam agama,” terangnya.  

Lebih jauh Ubaidillah berharap, media juga dapat hadir sebagai penjernih atas perbedaan yang terjadi di masyarakat. Bahwa perbedaan ini adalah sunnatullah yang akan terjadi. Termasuk juga jika nanti dalam penentuan 1 Syawal ada yang berbeda, tetap disikapi dengan toleransi dan penghormatan. “Sebagaimana dalil yang ada, Ikhtilaful ummati rahmah,” ujarnya.

Senada dengan hal ini, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari juga mengimbau agar siaran keagamaan di bulan Ramadan berpijak pada pemahaman keislaman masyarakat Indonesia secara umum. “Sehingga, selain menguatkan hubungan kepada Allah pada usaha peningkatan ketaqwaan dan keimanan, juga menguatkan hubungan sesama manusia,” ujarnya. 

Abdul Kharis yang hadir sebagai narasumber GLSP berharap, siaran Ramadan di televisi dan radio turut menjaga situasi yang kondusif bagi masyarakat menjalankan ibadahnya secara optimal. “Bagi saya, tidak mungkin mendikte harus konten ini harus konten itu. Tapi silakan saja, asal tidak berseberangan dengan pemahaman sebagian besar umat islam seluruh Indonesia. Sifatnya lebih pada pendalaman apa yang sudah dipahami, kemudian juga memberikan penjelasan bagi mereka yang belum paham,” ujar politisi kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Lebih jauh dia menegaskan, KPI sebagai regulator punya aturan khusus yang harus diikuti lembaga penyiaran dalam pelaksanaan siaran di bulan Ramadan. 

Berkaitan dengan hal tersebut, KPI memang telah mengeluarkan surat edaran tentang siaran Ramadan yang  berisi lima belas poin arahan bagi televisi dan radio dalam mengelola program siaran di bulan puasa tersebut. Namun demikian, terang Ubaidillah, selain melakukan pengawasan dan pembinaan, KPI juga menyiapkan penghargaan pada program di televisi dan radio yang memiliki semangat menjaga kemuliaan bulan suci. Menurutnya, siaran Ramadan juga harus mengedepankan nilai-nilai silaturahim, toleransi dan kedamaian pasca pemilu dan kita semua tetap guyub dan utuh sebagai satu bangsa. 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.