Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selalu menjaga agar lembaga penyiaran dalam hal ini televisi dan radio, tidak menjadi instrumen atau alat bagi penyebaran politik identitas. Setiap informasi yang dikelola melalui lembaga penyiaran haruslah berimbang dan proposional, serta memberikan penghormatan terhadap keragaman bangsa. Di satu sisi, KPI menuntut lembaga penyiaran mengambil peran sebagai kontrol sosial, sementara pada sisi yang lain diharapkan pula sebagai instrumen kohesi sosial. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut dalam diskusi online tentang “Media dan Politik Identitas” yang diselenggarakan Dewan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Surabaya, (8/2), yang turut dihadiri Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur Kusnadi SH., M.Hum. 

Kepada mahasiswa anggota GMNI Surabaya, Hardly menjelaskan sejak awal berdirinya negara ini para founding fathers dan founding mothers telah memiliki konsensus kebangsaan yang kemudian jadi dasar negara yaitu Pancasila. Sejak awal pula bangsa Indonesia menyadari identitas yang beragam. Oleh karenanya, persatuan Indonesia adalah persatuan dalam keragaman. Jika sesanti Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi komitmen bersama seluruh anak bangsa, seharusnya tidak ada lagi ruang untuk politik identitas. 

Namun demikian, faktanya politik identitas hingga saat ini masih digunakan sebagai strategi politik dan alat untuk mencapai kekuasaan. Pada peserta webinar Hardly juga memaparkan data pengguna internet di Indonesia yang mencapai 174 juta atau setara dengan 65% penduduk. Karakteristik informasi melalui internet ini, ujarnya, dapat dibuat, diedit dan dibagikan oleh siapapun, kapanpun dan dimana pun. “Borderless, lintas batas dan bahkan sangat mungkin informasi dibuat secara anonim,” ujarnya. Pada media baru ini, arus informasi demikian besar hingga menjadi ledakan atau disrupsi informasi. Disrupsi ini tidak selalu berisi informasi yang benar dan baik, namun juga banyak terdapat disinformasi dan hoax. Dengan karakteristik yang demikian, maka internet lebih potensial menjadi instrumen untuk mobilisasi politik identitas dibanding media konvensional. “Mereka yang memiliki pandangan politik yang sama cenderung saling memperkuat pandangan sebagai satu komunitas dan menganggap yang berbeda sebagai lawan,” tambahnya.  

Regulasi yang ada di Indonesia saat ini mengamanatkan pengaturan dan pengawasan terhadap media cetak dan media elektronik (dalam hal ini televisi dan radio). “Yakni lewat undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers dan undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran,” ujarnya. Sementara untuk konten yang hadir dalam media internet baik itu dalam website atau pun media sosial, pengaturannya  melalui undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE), yang menggunakan pendekatan hukum pidana. Dalam beberapa kesempatan, ucap Hardly, Ketika undang-undang ini digunakan untuk menindak pelaku politik identitas, kerap kali mendapat perlawanan publik atas nama kebebasan berpendapat. Hal yang berbeda terjadi pada media konvensional seperti media cetak dan elektronik, yang sudah memiliki perangkat pengawasan dan penindakan. 

KPI sebagai regulator penyiaran selalu meminta televisi dan radio menjadi penjernih informasi bagi masyarakat. Termasuk dalam setiap perhelatan politik, pemilu maupun pilkada, KPI senantiasa mengawasi lembaga penyiaran agar tidak menjadi instrument mobilisasi politik identitas. Setiap informasi harus dikelola dan disampaikan secara berimbang dan proporsional. 

Hardly menilai harus ada terobosan besar yang diambil dalam rangka menghadang penyebaran politik identitas melalui media. “Setidaknya butuh tiga strategi untuk dijalani secara simultan,” ungkapnya. Pertama, adanya regulasi terhadap media baru dan penegakan hukum yang tegas.  Kedua, penguatan literasi media di tengah masyarakat guna mendorong kecerdasan dalam memilah informasi, termasuk dalam menggunakan informasi dari media secara konstruktif. Ketiga, adanya counter narasi politik identitas melalui konten positif yang mampu merajut nilai kebangsaan. 

Mahasiswa sebagai agen perubahan juga harus dapat menjadi agen transformasi sosial secara virtual. Diantaranya dengan memperbanyak konten media sebagai usaha menghadang narasi politik identitas tersebut.  Menurutnya, sebagai intelektual muda, mahasiswa juga harus menjadi kelompok penekan atau pressure group guna melahirkan regulasi yang kuat dan mampu meminimalisir penyebaran konten negatif termasuk politik identitas melalui media baru. Tentunya, tanpa membungkam kebebasan berpendapat di era digital dan virtual ini, pungkasnya.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.