Surabaya - Kapasitas literasi masyarakat Indonesia harus ditingkatkan dalam rangka mempersiapkan bangsa ini memasuki sebuah peradaban digital. Kemampuan ini juga harus disertai dengan  kapasitas inovasi dan kolaborasi serta dukungan kepastian regulasi, sehingga masyarakat Indonesia dapat berkontribusi dalam peradaban digital tersebut. Hal ini ditegaskan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Kelembagaan, Hardly Stefano Pariela, dalam Webinar tentang “Komunikasi Kepemimpinan dan Literasi Media Digital ditengah Pandemi” yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya (19/9).

Dalam kesempatan tersebut Hardly memaparkan beberapa permasalahan aktual terkait media, khususnya media baru. Dari data yang disampaikan Hardly, setidaknya saat ini terdapat 175 juta pengguna internet di Indonesia yang setara dengan 64% dari jumlah penduduk di negeri ini. Selain memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bebas  berekspresi, media baru juga harus dipahami sebagai sebuah proses bisnis. Jika pada media konvensional konglemerasi media dilakukan oleh perusahaan berskala nasional, maka pada media baru ada transnasional corporation yang beroperasi lintas batas wilayah negara secara virtual. “Sehingga, kalau bicara keuntungan bisnis dan agenda setting, di media baru juga ada,”ujarnya.

Hardly menjelaskan masyarakat sebagai end user, seringkali menjadikan konten di media baru sebagai hobi dan rekreasi. Tapi hal tersebut dikapitalisasi pengelola aplikasi dan platform untuk mendapatkan keuntungan dengan menjualnya pada pemasang iklan. Pengguna internet di Indonesia yang mencapai 175 juta orang ini telah menjadi komoditas dari konglomerasi korporasi media transnasional yang beroperasi secara virtual. “Yang juga perlu disadari, konglomerasi media ini juga punya agenda setting”ujar Hardly.

Untuk itu, dirinya menilai perlunya realisasi pengaturan dan pengawasan terhadap media baru, sebagai bentuk perlindungan pada masyarakat, baik itu sebagai pembuat konten ataupun konsumen media. “Media baru memungkinkan adanya kebebasan berekspresi. Namun tentu kita berharap sesuai dengan koridor norma dan budaya Indonesia. Sehingga Masyarakat mendapatkan konten positif, hiburan yang sehat dan informasi berkualitas,”ujarnya.

Lebih jauh lagi Hardly menekankan, di era disrupsi informasi, regulasi saja tidak cukup. Diperlukan kapasitas literasi yang baik di masyarakat. Menurutnya, kapasitas literasi masyarakat dalam bermedia akan menentukan kualitas informasi dan hiburan yang diproduksi, direproduksi dan disebarkan. “Kalau ingin tayangan yang baik, maka kita harus punya kapasitas literasi yang baik,”ujarnya.

Bagaimana pun juga televisi dan radio dalam membuat konten ukurannya sederhana, yakni jumlah penonton dan pendengar.  Kalau banyak yang menonton, maka akan terus diproduksi dan terus hadir di tengah masyarakat. Maka, kalau kapasitas literasi di masyarakat baik, tentu yang dipilih juga konten-konten yang baik. Sehingga konten tersebut juga terus diproduksi.

Dalam era disrupsi sekarang, menurut Hardly, literasi tidak hanya sekedar bagaimana publik dapat memilih. Namun juga punya kemampuan memproduksi, mereproduksi dan menyebarkan konten-konten yang baik dan berkualitas. Dengan demikian, di tengah disrupsi ini, dapat terjadi ledakan informasi yang lebih banyak mengandung konten yang baik dan berkualitas untuk masyarakat.

Untuk itulah, Hardly berharap agar mahasiswa tidak lagi sekedar sebagai agent of change, atau agen perubahan. Mahasiswa harus terus mengembangkan intelektualitas, meningkatkan kapasitas literasi serta mengasah kemampuan digital. Di era disrupsi ini mahasiswa harus menjadi agent of transformation dan agent of disruption. “Sehingga dapat memandu masyarakat di era disrupsi untuk bertransformasi ke arah yang lebih baik, pungkasnya.