Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat berfoto bersama Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla usai pertemuan di Kantor Istana Wapres, Kamis (1/11/2018).

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla di Kantor Istana Wapres, Kamis (1/11/2018). Sejumlah persoalan penyiaran dibahas dalam audiensi yang berlangsung hampir satu jam tersebut.

Di awal pertemuan, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menyampaikan dinamika penyiaran di tanah air antara lain pelaksanaan desentraliasasi siaran melalui penyediaan konten lokal 10% di televisi berjaringan nasional. Menurutnya, sistem ini harus diawasi secara ketat oleh KPID. Untuk melakukan peran itu, KPID harus diperkuat baik dari sisi penganggaran maupun kebijakan.

“Tapi disini ada masalah karena benturan antara UU Pemerintah Daerah dan UU Penyiaran. Sehingga hal ini menyulitkan KPID untuk bekerja. KPID jadi sangat tergantung dari pemimpin pemerintah daerahnya,” kata Andre ke Wapres. 

Soal iklan layanan masyarakat (ILM) juga menjadi perhatian dalam pertemuan ini. KPI menyampaikan ke Wapres usulan agar setiap lembaga dan instansi pemerintah membuat ILM yang menyosialisasikan agenda pesta demokarasi tahun 2019. ILM ini sangat penting khususnya untuk masyarakat di perbatasan yang banyak dibanjiri siaran asing. 

“Berkaitan dengan informasi Pemilu di daerah perbatasan. Hal ini perlu ada sinergi seluruh lembaga untuk menyampaikan ILM terkait informasi ini ke daerah perbatasan,” kata Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, di pertemuan itu.  

Persoalan rating share yang menyebabkan konten menjadi seragam dan menyebabkan kualitas program tidak berkembang turut disampaikan ke Wapres. Terkait hal itu, Wapres diberirahu jika KPI telah melakukan survey indeks yang kontradiksi dengan rating share yang sudah ada. “Ada perbedaan pendapat dan keinginan dari setiap daerah terhadap siaran televisi dari survei di 12 kota yang kami lakukan pak,” tambah Ketua KPI Pusat.

Menurut Andre, panggilan akrabnya, permasalahan rating di Indonesia harus ada regulasi yang mengatur seperti di Amerika Serikat. FCC, lembaga semacam KPI di AS, bisa melakukan audit terhadap lembaga rating di sana. Sedangkan kita, kebijakan ini tidak bisa dilakukan. “UU Penyiaran yang baru nanti diharapkan dapat mengakomodasinya,” katanya ke Wapres. 

Dalam kesempatan itu, KPI melaporkan perkembangan broadcasting di internet yang makin massif. Menurut Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, hal ini perlu diawasi dan harus segera memiliki paying hukum alias regulasi. 

“Ada kecenderungan sekarang industri di dunia dan Asia khususnya sudah masuk ke teknologi over the top. Sayangnya, kita masih kita masih berkecimpung di free to air. Ini harus jadi pemikiran dan perlu ada regulasi karena Indonesia yang belum,” jelas Hardly.

Dia menjelaskan, konten di internet sangat bebas tanpa ada sensor dan lainnya. Pengaturan internet di Indonesia masih tergantung kepada UU ITE. Padahal ada kegiatan broadcasting di dalamnya. “Ke depan, harus ada pengawasan dan KPI bisa atur itu tapi harus ada UU nya dulu. Masyarakt kita nikmati hal ini, tapi tidak ada UU sehingga kita tidak bisa melindungi industri kita. Kita bisa melindungi masyarakat jika sudah dan aturan itu,” terang Hardly.

Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla, meminta KPI untuk bertindak tegas jika ada pelanggaran terhadap aturan penyiaran. Selain itu, Wapres mengakui jika perkembang tekonolgi tidak diimbangi dengan regulasi yang memadai. “Teknologi sekarang tanpa batas. Undang-undang selalu ketinggalan. Seharusnya UU itu fleksibel dan terbuka terhadap semua perubahan,” katanya. 

Wapres juga menceritakan bagaimana seumur hidupnya belum pernah menonton sinteron sampai habis.  Menurutnya, yang paling dari konten itu harus sesuai dengan etika, moral, nilai agama dan aturan yang berlaku. *** 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.