Pertemuan Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, Dewi Setyarini, Mayong Suryo Laksono, Ubaidillah, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano dengan Pimpinan Mahkamah Agung RI di Gedung MA, Jumat (8/6/2018). Foto: Agung Rachmadiyansyah/KPI

 

Jakarta – Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI) meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuat aturan siaran peradilan. Pengaturan ini untuk memberi ruang dan rasa aman perangkat pengadilan dan sanksi dalam menjalani prosesi peradilan. 

Permintaan tersebut disampaikan jajaran Pimpinan MA di sela-sela pertemuan dengan Komisioner KPI Pusat di Gedung Mahkamah Agung RI, Jakarta, Jumat (8/6/2018). Pertemuan ini untuk memperkuat sinergi KPI dan MA terkait siaran dan peliputan lembaga penyiaran di ruang persidangan. Hadir dalam pertemuan, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, Dewi Setyarini, Mayong Suryo Laksono, Ubaidillah, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano.

Wakil Ketua MA bidang Yudisial, Syarifuddin, mewakili Ketua MA mengatakan, peliputan maupun siaran persidangan di Indonesia begitu terbuka dan dapat disiarkan secara langsung. Hal ini berbeda dengan di proses persidangan di luar negeri.

Menurut Syarifuddin, peliputan siaran “live” persidangan seharusnya tidak diperbolehkan terutama saat penyampaian keterangan para saksi. “Saksi yang akan memberikan keterangan tidak boleh mendengarkan keterangan saksi sebelumnya karena ini akan mempengaruhinya. Hal itu melanggar Undang-undang,” jelasnya.

MA menilai siaran langsung dapat menimbulkan masalah keamanan bagi perangkat peradilan, mulai dari jaksa penuntut hingga majelis hakim. Jalannya persidangan dapat diliput atau tidak, kewenangannya berada di tangan majelis hakim. “Harus ada saling pengertian antara perangkat peradilan dan jurnalis terkait hal ini. Mesti ada cara yang baik untuk melakukan hal ini,” katanya. 

Panitera Muda bidang Khusus MA, Roki Panjaitan mengatakan, pengaturan siaran peradilan dapat menjaga kewibawaan dan martabat lembaga peradilan. “Misalnya terjadi kekacauan dalam persidangan dan itu disiarkan secara langsung, hal ini akan menimbulkan hilangnya martabat pengadilan di mata dunia,” jelasnya.

Roki mengusulkan, sebaiknya lembaga peradilan memiliki perangkat untuk melakukan perekaman dan editing. Rekaman penuh hasil persidangan akan diberikan ke wartawan setelah proses pengebluran wajah saksi atau perangkat peradilan lainnya.

“Kita bisa mengacu pada sidang terbesar abad ini, sidangnya Slobodan Milosovic. Jalannya persidangan tokoh yang bertanggungjawab terhadap pembataian di Bosnia dan Kroasia itu tidak diliput secara terbuka oleh media massa bahkan disiarkan secara langsung. Namun, pengadilan yang melakukan proses hukum Milosevic memberikan catatan lengkap jalannya persidangan kepada wartawan. Hal ini dapat disamakan dengan sidang kasus asusila atau anak,” ungkap Roki. 

Menurut Panitera Muda MA ini, KPI harus mengatur persoalan penyiaran peradilan ini dengan membuat aturan yang baik. “Kita harus menjaga lembaga peradilan kita. Hakim kita harus punya martabat, martabat hakim martabat kita semua,” papar Roki.      

Sementara itu, di awal pertemuan, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan ada tiga hal penting mengapa siaran peradilan harus diatur. Pertama, menjaga kewibawaan peradilan. Kedua, keamanan perangkat peradilan dan saksi. Ketiga, meminimalisir potensi munculnya sel-sel baru terorisme. 

“Kami sudah menyampaikan ini ke lembaga penyiaran dan pada intinya mereka siap diatur. Namun yang jadi soal sekarang ini bagaimana dengan aturan di media sosial. Rekaman dari masyarakat umum di persidangan. Kami harap majelis hakim dapat tegas mengatur hal ini di ruang sidang,” tegas Hardly. ***

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.