Jakarta - Badan Legeslasi Dewan Perwakilan Rakyat masih terus membahas Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Penyiaran untuk pengganti UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Ada dua hal penting yang masih menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU Penyiaran ini, yakni menyangkut single mux dan multi mux.

Terkait permasalahan itu, Komisioner KPI Agung Suprio mengatakan, apa pun yang akan digunakan, single mux atau multi mux harus ada pembatasan dan dikawal dengan baik oleh DPR.

"Kami tetap menggantungkan kepada DPR tentang pilihan single maupun multi mux. Yang jelas masing-masing harus dibatasi single ada pembatasannya. Multi ada pembatasannya," kata Agung di sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu, 21 Oktober 2017.

Agung mengatakan, apabila DPR memilih single mux, maka harus ada pembatasan agar peran pemerintah tidak menjadi lebih dominan. Sebab, potensi untuk mengintervensi stasiun televisi akan lebih besar untuk dilakukan. Seperti bisa melarang menayangkan acara tertentu hingga pencabutan saluran TV swasta secara paksa.

"Single mux pembatasannya pemerintah tidak menjadi dominan," ujarnya.
Sedangkan untuk multi mux, kata Agung, harus dilakukan pembatasan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi dominasi oleh pemilik modal.

"Kalau DPR memilih multi ini mesti ada peraturan turunannya. Misalnya 30 persen dalam saluran mux itu hanya boleh dimiliki oleh pengelola mux. 70 persen itu orang yang tidak berafiliasi dengan pengelola mux. Jadi menghindari adanya kekuatan (dominasi) dari pemilik modal," ujarnya.

Agung menambahkan, penggunaan sistem single mux ataupun multi mux harus ada peraturan turunannya yang mengatur lebih rinci. Baginya, intinya RUU Penyiaran yang akan disahkan oleh DPR harus memperhatikan kepentingan publik.

"Memperhatikan kepentingan publik. Itu intinya," ucapnya. Red dari viva.co.id

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.