Jakarta - KPI berpendapat sedikitnya ada delapan isu krusial yang harus dipertimbangkan dalam revisi UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Hal itu disampaikan Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto, dalam materi presentasinya pada saat FGD bertemakan “Regulasi Penyiaran dalam Era Digitalisasi Teknologi Penyiaran” yang diselenggarakan F-PKS di ruang plebo F-PKS, komplek DPR RI, Kamis, 12 Juli 2012. Adapun kedelapan hal krusial tersebut yakni:
Pertama, penguatan atas pengaturan terhadap stasiun sistem jaringan (SSJ). Hal ini komitmen atas prinsip keanekaragaman isi siaran (diverst of content).
Kedua, penguatan hak publik atas pengawasan dan peningkatan mutu siaran melalui penguatan secara penuh kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengatur, mengawasi, dan memberi sanksi administratif atas pelanggaran.
Ketiga, penguatan hak publik atas pengawasan terhadap pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran dan kepemilikan dalam satu wilayah siaran.
Keempat, penguatan kelembagaan KPI dari sisi kewenangan integral dalam pengaturan tentang infrastruktur penyiaran dan perizinan yang tidak dapat dipisahkan dengan kewenangan isi siaran.
Kelima, penguatan kelembagaan KPI dari isi internal melalui pengaturan yang lebih jelas tentang hubungan hierarki dan kewenangan KPI Pusat dan KPI Daerah, kedudukan komisioner terhadap kesekretariatan, penegasan bahwa status komisioner adalah bagian atau disamakan dengan pejabat negara dan pengaturan tersendiri dan bersifat nasional untuk memaksimalkan kinerja lembaga.
Keenam, penguatan dasar hukum peraturan KPI dalam mengatur hal-hal yang terkait dengan regulasi penyiaran.
Ketujuh, memperjelas hubungan antar lembaga-lembaga terkait dalam pengaturan tentang penyiaran, diantaranya hubungan KPI dan Pemerintah, KPI dengan Dewan Pers, KPI dengan LSF.
Kedelapan, respon terhadap perkembangan teknologi multimedia yang berpengaruh secara langsung terhadap struktur dan bisnis penyiaran.
Dalam kesempatan itu, Riyanto menyesalkan sikap pemerintah yang mengeluarkan aturan (Permen) soal digitalisasi. Padahal, isi permen masih banyak yang perlu ditambahkan dengan dimensi antara lain bisnis dan sosialnya. Kedua instrumen itu tidak tersentuh dalam permen. Selain itu, lanjutnya, urusan digital tidak sesederhana hanya diatur dalam payung permen saja tapi lebih dari itu yakni UU.
Riyanto berharap ada perhatian khusus terhadap lembaga penyiaran berlangganan (LPB) dalam revisi UU Penyiaran. Menurut dosen hukum Untag Semarang ini, harus ada pengaturan soal bisnis di LPB karena memang ada potensi ekonomi besar di dalamnya. Selain itu, lembaga penyiaran ini memiliki pengaruh besar di masyarakat khususnya masyarakat yang ada di wilayah blankspot. “Saya harap ini juga disentuh,” pintanya.
Selain itu, Riyanto juga mengusulkan adanya penguatan lembaga penyiaran komunitas dan publik khususnya di wilayah perbatasan dan kepulauan. Selain sebagai penguat integrasi, keberadaan mereka bisa menjadi penyeimbang siaran lembaga penyiaran swasta. “Jika perlu keberadaan mereka di suport negara jika memang penting bagi masyarakat,” paparnya. Red