(Danang Sangga Buana) Industrialisasi Politik di Layar Kaca

Pesta demokrasi lima tahunan kian dekat. Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) bakal terhelat sepanjang paruh tahun 2014 akan menghasilkan konfigurasi politik dan pemimpin nasional baru. Parpol dan bakal calon Presiden serta wakilnya (Capres/Cawapres) kini sedang gemar-gemarnya menyapa rakyat, baik secara konvensional maupun melalui media massa.

Media massa, baik cetak, online, radio, dan terutama televisi menjadi semacam ‘panggung besar’ bagi konser politik nasional untuk menunjukkan diri sebagai terbaik agar diterima rakyat. Media massa, terkhusus televisi, kini mulai tumpah-ruah oleh sekian banyak iklan politik dan beragam berita Parpol. Televisi telah menduduki posisi teratas penentu utama pendulum keberhasilan parpol, Capres/Cawapres, dan calon anggota legislatif (Caleg) dalam kasta politik nasional.

Merujuk pada perhelatan dua periode Pemilu sebelumnya, tampak efektifitas kampanye televisi telah terbukti. Pada Pileg 2004 misalnya, PDIP mengalokasikan belanja iklan Rp39,25 miliar mendapatkan 109 kursi DPR (21.026.629 suara). Partai Golkar mengeluarkan dana Rp21,75 miliar memperoleh 128 kursi DPR atau 24.480.757 suara (Nielsen Media Research: 2008). Selanjutnya di Pileg 2009, Partai Demokrat menghabiskan dana Rp139,12 miliar muncul sebagai pemenang dengan perolehan 148 kursi DPR (21.703.137 suara).

Fakta di atas sekaligus berkonsekwensi pada apa yang saya sebut sebagai proses ‘industrialisasi politik’. Politik ibarat produk kemasan dari pabrik yang beroperasi di zona pasar bebas. Parpol dan Capres/Cawapres beriklan memengaruhi konstituen dengan model pencitraan (image) semenarik mungkin, namun sejatinya hanya sebatas permukaan (preface). Konstituen yang terpengaruh akan memilih dengan pertimbangan daya tarik rasa (taste magnitude), ketimbang pilihan rasional-logis. Fenomena politik ini oleh Jon Simons disebut ‘imagologi politik’.

Mengutip Habermas, Simons mengatakan, “...imagology contributes to the sistematics distortion of communication and impoverishes politics by undermining critical public reasoning.” (Imagologi memberikan kontribusi berupa distorsi komunikasi secara sistematis dan memiskinkan politik dengan merusak nalar kritis publik). Karena itulah, selain sebagai pilar demokrasi, televisi dikarakterisasi Simons sebagai ‘the rise of imagology’.
 
Sebagai sebuah imagologi, iklan politik menciptakan dan membentuk cita rasa lewat serangkaian representasi visual dan naratif. Semua yang terlibat dalam panggung politik adalah agensi periklanan, dari skala kecil hingga skala besar. Disadari atau tidak, ia telah menciptakan suatu hyper reality demokrasi, yaitu penghapusan realitas sesungguhnya (real reality) dan menciptakan realitas semu (pseudo reality) dalam kehidupan politik dengan janji dan penonjolan keberhasilan yang pernah diraih sebelumnya.

Frekuensi Publik

Iklan politik di layar kaca sebagai proses imagologi sejatinya sedang mendegradasi frekuensi publik. Televisi yang dalam nomenklatur regulasi disebut Lembaga Penyiaran, apapun jenisnya, menggunakan frekuensi milik publik, sehingga bertanggung jawab memberikan layanan informasi dan edukasi kepada publik, termasuk di dalamnya edukasi politik.

Namun frekuensi milik publik itu kerap dimanfaatkan secara sepihak sebagai sarana imagologi politik. Program siaran berita politik, iklan dan lainnya kerap menegasikan prinsip fairness, proporsionalitas, keberimbangan, keadilan dan juga kejernihan. Sebut saja: berita politik tak berimbang (tanpa pertimbangan cover both sides dan multy sides), advertorial yang didesain seolah berita, dan beragam iklan politik terselubung dalam program hiburan, telah mendistorsi komunikasi secara sistematis menuju pemiskinan nalar kritis masyarakat.

Pada posisi ini, televisi selaku pengguna frekuensi publik harus kembali pada tugas dan fungsi idealistiknya, yakni sebagai pilar demokrasi, sarana informasi yang jernih, dan medium bagi pencerdasan bangsa. Komitmen moral para pemilik dan pengelola televisi menjadi modal berharga mengembalikan hak frekuensi kepada publik. Komitmen moral ini semestinya dimaterialisasi melalui tontonan yang sehat dan mencerdaskan bangsa, setidaknya dengan mengimplementasi enam peran media televisi, yakni: Pertama, televisi sebagai jendela melihat pelbagai peristiwa yang terjadi, dan belajar untuk menjadikannya pengalaman (window on event and experience).

Kedua, televisi ibarat cermin yang merefleksikan pelbagai peristiwa yang terjadi di dunia. Dengan demikian, televisi niscaya benar-benar merefleksikan fakta, obyektif dan jernih. Artinya, secara profesional televisi dapat membingkai (framing) fakta mentah menjadi fakta yang berguna bagi perkembangan moral bangsa. Apalagi pemirsa tak sepenuhnya bebas menentukan apa yang sesungguhnya mereka inginkan (silent majority).

Ketiga, televisi sebagai filter (gatekeeper) yang menyeleksi berbagai peristiwa untuk diberi perhatian atau tidak. Oleh karena itu, televisi mesti memiliki standar penyiaran yang dipijakkan pada standar atau pedoman yang disusun oleh komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam memilih isu, informasi, dan format isi penyiaran. Hal ini selaras dengan makna asosiatif gatekeeping, penjaga gerbang, yakni mereka yang dipercaya dan dianggap mampu untuk membuka dan menutup gerbang terhadap beragam informasi.

Keempat, televisi sebagai guide, penunjuk jalan, bertugas mulia menunjukkan arah yang benar kepada pemirsa atas berbagai ketidakpastian, alternatif, dan keberagaman informasi. Kondisi ini, mau tak mau, memaksa pemirsa untuk berpikir kritis. Akan tetapi, pihak televisi mesti mendengarkan ‘suara hatinya’ sebelum berperan sebagai penunjuk jalan.

Kelima, televisi sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada pemirsa sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik. Dan keenam, televisi sebagai interlocutor, yang tak hanya sekadar sebagai tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga sebagai mitra berkomunikasi dengan pemirsa sehingga membuka peluang komunikasi interaktif yang bermanfaat bagi kecerdasan bangsa.

Jika enam peran media ini dijalankan dengan baik oleh televisi selaku Lembaga Penyiaran yang menggunakan frekuensi milik publik (baca juga: milik negara), maka nalar kritis masyarakat tak lagi termiskinkan, sebaliknya tercerdaskan. Dan terpenting, televisi sebagai Lembaga Penyiaran juga menyadari tanggungajwabnya sebagai pengemban pilar demokrasi dan pengantar kemajuan bangsa menuju kedaulatan yang sesungguhnya.

Danang Sangga Buwana
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.