9 Perintis Penyiaran Indonesia
Oleh
Hari Wiryawan*)
Direktur Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta (LPPS)
Penetapan Harsiarnas oleh Pemerintah RI tidak disertai dengan penetapan Bapak Penyiaran Indonesia. Padahal dalam dua deklarasi Harsiarnas sebelumnya di Solo yaitu tanggal 1 April 2009 dan 1 April 2010 usulan Harsiarnas dan BPI adalah satu paket.
Mangkunagoro VII diusulkan sebagai Bapak Penyiaran karena ia memprakarsai berdirinya SRV 1 April 1933, sebagai stasiun radio pertama milik bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia. Oleh karena itu 1 April layak dijadikan sebagai Harsiarnas, sebaliknya SRV bisa berdiri 1 April 1933 karena prakarsa MN VII. SRV dan MN VII saling berkaitan, karena itu usulan Harsiarnas dan Bapak Penyiaran adalah satu paket. Batalnya MN VII ditetapkan sebagai Bapak Penyiaran Indonesia lebih banyak disebabkan karena MN VII adalah sosok yang kurang dikenal, termasuk di kalangan penyiaran sendiri.
Sebagian besar tokoh dalam perintisan dunia penyiaran di Indonesia kurang atau tidak dikenal masyarakat. Buku sejarah yang diajarkan di sekolah juga tidak banyak mengungkap peran penting media penyiaran dalam sejarah perjuangan bangsa. Jika ada penulisan sejarah perjuangan bangsa yang berkaitan dengan ”peran media penyiaran” biasanya merujuk pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Di sini tokoh Bung Tomo sangat menonjol. (Waid, 2014; Arvian (peny). 201; Parera (peny).1982)
Para Perintis Penyiaran Indonesia
Selain Mangkunagoro VII, terdapat sejumlah tokoh yang merintis dunia penyiaran pada akhir dekade 1920-an hingga dekade 1940-an antara lain adalah: 1. Sarsito Mangunkusumo (Ketua SRV) 2. Sutarjo Kartohadikusumo (Ketua PPRK; anggota Volksraad) 3. Abdulrahman Saleh (Ketua VORO; Kepala RRI pertama) 4. Maladi (Kepala RRI kedua; Menteri Penerangan) 5. Bung Tomo (orator peristiwa 10 November 1945) 6. Jusuf Ronodipuro (penyiar naskah Proklamasi) 7. Haji Agus Salim (penyiar agama Islam) dan 8 Gusti Nurul (putri MN VII).
Generasi Sebelum dan setelah Proklamasi Kemerdekaan
Tokoh-tokoh tersebut memiliki perannya yang penting dalam bidang penyiaran pada awal perkembangan radio di Indonesia. Mereka berjasa dalam dunia penyiaran atau menggunakan penyiaran sebagai alat perjuangan bangsa. Para tokoh itu ada yang dikenal sebagai praktisi radio yaitu Maladi, Abdulrahman Saleh, Jusuf Ronodipuro, Bung Tomo, dan Haji Agus Salim, tapi ada pula yang bukan praktisi radio namun berperan penting dalam pengembangan radio yaitu Sarsito Mangunkusumo, Sutarjo Kartohadikusumo, Gusti Nurul.
Jika kedelapan orang tersebut dikelompokkan dalam generasi “sebelum kemerdekaan” dan “setelah kemerdekaan”, maka akan terbagi sebagai berikut:
Generasi Sebelum Kemerdekaan: Sarsito Mangunkusumo, Sutarjo Kartohadikusumo, Haji Agus Salim dan Gusti Nurul. Para tokoh ini bergiat dalam bidang penyiaran pada masa penjajahan Belanda.
Sarsito Mangunkusumo (1897-1987) adalah tangan kanan MN VII dalam bidang penyiaran. Ia mengenal radio sejak akhir dekade 1920-an. Sarsito berjasa meletakkan dasar-dasar pengelolaan (manajemen) radio Ketimuran (radio pribumi), membantu dan membina sejumlah radio Ketimuran di Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta dan Surabaya. Sarsito menjadi tempat bertanya para aktivis Radio Ketimuran yang baru mendirikan stasiun radio. Sarsito memimpin berbagai pertemuan Radio Ketimuran baik di Solo maupun di luar kota. Ia berpengalaman luas karena memimpin SRV selama 9 tahun, 1933-1942. Ia juga memiliki hubungan yang luas dengan kalangan perusahaan pos dan telegrap Belanda-PTT Bandung. Sebagai seorang insinyur lulusan Delft University, Belanda ia juga sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Praja Mangkunegaran. Bersama Sutarjo Kartohadikusumo mengelola asosiasi radio “Perikatan Perkumpulana Radio Ketimuran” (PPRK).
Sutarjo Kartohadikusumo (1892-1976) adalah seorang politisi yang terkenal. Ia menjadi anggota Volksraad, sebuah parlemen bentukan Pemerintah Hindia Belanda. Ketika Sutarjo di Volksraad, Radio Ketimuran menghadapi masalah dalam hubungannya dengan NIROM (Netherlands Indicshe Radio Oemroep Maschappij). Pada saat itulah Sutarjo membantu memperjuangkan Radio Ketimuran untuk memperolah hak-haknya dalam perundingan dengan NIROM. Sutarjo dianggap berhasil menjembatani konflik Radio Ketimuran yang diwakili oleh PPRK dengan NIROM. Soetarjo kurang lebih berusia sebaya dengan Sarsito, namun dalam percaturan politik di tingkat nasional Sutarjo lebih menonjol dari para Sarsito. Oleh karena itu ketika pemilihan Ketua PPRK, Sutarjo terpilih sebagai ketua. Sementara Sarsito menjadi sekretaris/ bendahara. Sarsito berpengalaman dalam masalah penyiaran, Sutarjo berpengalaman dalam bidang politik, karena Sutarjo adalah anggota Volksraad bersama Haji Agus Salim.
Haji Agus Salim juga dikenal sebagai politisi ulung di Volksraad. Pengalaman hidupnya lengkap dari mulai sebagai pegawai Konsulat Belanda di Arab Saudi yang direkrut Snouck Hurgronje sampai menjadi pimpinan partai politik. Agus Salim adalah orang kedua setelah Cokroaminoto dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Setelah Cokroaminoto wafat, Agus Salim malah tersingkir dari PSII. Dia lalu mencoba untuk beralih melakukan kegiatan dakwah. Kegiatannya sebagai mubaligh ini mengantarkan Agus Salim berkenalan dengan radio yang digunakan sebagai media dakwah. Agus Salim menggunakan Radio Ketimuran Vereeniging Oostersche voor Radio Oemroep (VORO) dan radio Belanda (NIROM) untuk menyampaikan dakwahnya. Jika Haji Agus Salim dikenal dengan suaranya maka Gusti Nurul dikenal dikalangan radio karena tariannya. (Panitia Buku 1984; Zulkifli dkk (Peny). 2013).
Gusti Nurul adalah putri MN VII. Gadis cantik itu dikenal dalam dunia penyiaran radio karena banyak mewakili ayahandanya. Ia melakukan sejumlah seremoni penyiaran atas nama MN VII pada usia remaja, antara lain adalah: meresmikan peletakan batu pertama gedung studio SRV, meresmikan penggunaan gedung studio radio SRV, meresmikan penggunaan pemancar baru SRV. Peran yang paling fenomenal adalah menari di negeri Belanda dengan iringan gamelan dari Solo yang dipancarkan melalui SRV. Karena apa yang dilakukan itu atas perintah ayahandanya maka Gusti Nurul mengatakan bahwa dirinya seperti wayang yang digerakkan ayahnya sebagai dalang, ”saya ini hanya sebagai kelinci percobaan,” katanya. (Wawancara 2006, 2009 dan 2013).
Setelah Jepang masuk, Gusti Nurul tak pernah lagi mewakili ayahnya di SRV. Haji Agus Salim tidak lagi bersiaran di NIROM maupun VORO karena keduanya ditutup Jepang. Sutarjo sebagai Ketua PPRK tidak terdengar lagi kegiatannya karena seluruh radio dibreidel 1942 dan digantikan radio Jepang Hoso Kanry Kyoko. Sarsito Mangunkusumo menyerahkan seluruh kendali penyiaran di SRV kepada Maladi.
Maladi dan Abdulrahman Saleh adalah dua tokoh yang yang telah tercatat sebagai orang radio yang masuk dalam Generasi sebelum Kemerdekaan, tapi sekaligus juga masuk dalam Generasi setelah Kemerdekaan.
Abdulraman Saleh tercatat sebagai Ketua stasiun radio VORO periode 1936-1939. Abdulrahman Saleh, adalah seorang yang multi talenta, di bidang radio ia ahli tehnik, ia juga dikenal sebagai dokter. Setelah Indonesia merdeka Abdulrahman Saleh masuk sebagai anggota Angkatan Udara RI. Ketika para aktivis radio dari berbagai kota berkumpul di Jakarta, mereka rapat di rumah Adang Kadarusman, lalu mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI), 11 September 1945 dan memilih Abdulrahman Saleh sebagai ketuanya. Dalam pertemuan itu hadir pula penggerak pertemuan: Maladi.
Maladi sebelumnya telah aktif bekerja di SRV Solo, khususnya penyiar olah raga (Berita Sport). Tidak lama kemudian posisi Maladi naik menjadi pengurus di SRV, yang diketuai Sarsito Mangunkusumo. Ketika Jepang menduduki SRV, Maladi yang menghadapinya. Maladi segera melapor ke Sarsito untuk urusan dengan radio Jepang. Maladi menjadi satu-satunya Pribumi yang mengepalai stasiun Hosokyoku. Setelah Indonesia merdeka, Maladi punya gagasan perlunya memiliki organisasi radio. Ia lalu menghubungi teman-temanya di berbagai kota. Komunikasi ini bisa lancar karena sebagian besar mereka telah bekerjasama di PPRK ketika masa Radio Ketimuran. Setahun setelah RRI berdiri, Maladi menggantikan Abdulrahman Saleh sebagai Kepala RRI Pusat, ketika itu yang bertindak sebagai Kepala RRI Jakarta adalah Jusuf Ronodipuro.
Jusuf Ronodipuro mulai bekerja di bidang radio pada zaman Jepang. Pada waktu itu ia sedang mencari pekerjaan di Jakarta dan bertemu dengan Sukarni (pemuda yang menculik Bung Karno ke Rangkasdengklok). Jusuf lalu bekerja di Barisan Propaganda Jepang (Sendenbu). (Isnaeni (ed) 2015 h. 129). Setelah bekerja di situ, lalu pindah di kantor kebudayaaan Jepang dan kemudian pindah ke Hosso Kyoku Jakarta. Namanya melambung setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu ketika malam hari 17 Agustus 1945 sekitar pukul 19.00, ia membacakan naskah Proklamasi yang siang sebelumnya dibaca oleh Bung Karno. Naskah proklamasi itu ia dapat dari seorang wartawan kantor berita Jepang Domei bernama Syachrudin yang memasuki gedung studio radio Hosokyoku dari tembok belakang. Jusuf Ronodipuro dkk kemudian disiksa secara fisik. (Kemenpen RI (1953) dan Hendri F Isnaeni (2015). Namun Jusuf Ronodipuro selamat sehingga ketika para aktivis radio dari berbagai kota berkumpul di Jakarta, Jusuf bisa ikut rapat pendirian RRI. Jusuf Ronodipuro adalah salah satu tokoh penyiaran yang muncul sebagai Generasi Setelah Kemerdekaan, di samping nama lain yaitu Bung Tomo (Sutomo).
Ketika suatu hari melawat ke Jakarta, Bung Tomo kecewa melihat kendaraan Sekutu lalu lalang, tanpa hambatan. Pemerintah dan rakyat tidak berbuat apa-apa. Bung Tomo tidak rela jika kota asalnya yaitu Surabaya juga diinjak-injak Sekutu. Ia lalu pulang mendirikan stasiun radio di Surabaya untuk menggerakan semangat juang rakyat agar situasi itu (leluasanya tentara Sekutu) tidak terjadi di Surabaya. (Tim Tempo, 20I6).
Bung Tomo waktu itu adalah Kepala Seksi Penerangan organisasi gerilyawan bernama Pemuda Republik Indonesia (PRI). Ia lalu mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), 12 Oktober 1945. BPRI juga mendirikan stasiun radio yang bernama “Radio Pemberontakan”. Melalui siaran radio itu Bung Tomo menggerakkan arek-arek Surabaya melawan Sekutu. Ketika stasiun radio Pemberontakan belum rampung dibangun, Bung Tomo berpidato di studio RRI, namun dibuat seolah-olah RRI merelay dari Radio Pemberontakan Rakyat milik Bung Tomo. (50 tahun RRI Yogyakarta, 1995 ).