Jakarta – Jumlah sanksi yang dijatuhkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meningkat menjadi 182 kali kepada 12 stasiun televisi yang bersiaran jaringan secara nasional. Pada tahun sebelumnya, sanksi yang dijatuhkan KPI kepada lembaga penyiaran hanya berjumlah 108 kali. Peningkatan sanksi ini menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, salah satunya dikarenakan adanya momen pemilihan umum, baik legislatif ataupun presiden. Lembaga Penyiaran menjadi salah satu pilihan dalam melakukan kampanye bagi setiap kandidat dalam pemilu legilatif dan pemilu presiden.
Hal ini selaras dengan data penjatuhan sanksi yang ada di KPI Pusat, yang didominasi oleh iklan-iklan kampanye, baik dari partai politik, calon anggota legislatif ataupun dari kandidat calon presiden. “Jika dilihat secara keseluruhan, dari 182 sanksi yang dijatuhkan KPI, 49 sanksi terkait dengan penyelenggaraan pemilu, baik legislatif ataupun presiden. Rinciannya, 35 sanksi iklan politik, 7 sanksi program jurnalistik, 4 sanksi untuk program kuis, 2 sanksi reality show dan 1 sanksi dari program talkshow.
Program-program jurnalistik yang mendapatkan teguran umumnya dikarenakan melanggar prinsip netralitas yang menurut Undang-Undang Penyiaran, wajib ditegakkan oleh seluruh lembaga penyiaran. Sedangkan untuk variety show dan kuis, pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran terkait perlindungan kepentingan publik seperti diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) KPI 2012 pasal 11 ayat (1). Dengan data penjatuhan sanksi ini, dapat disimpulkan bahwa selama pelaksanaan pemilu di tahun 2014 lembaga penyiaran yang dimiliki oleh pimpinan partai politik telah dimanfaatkan untuk memberikan keuntungan pada pilihan politik pemiliknya.
Idy melihat kecenderungan lembaga penyiaran menyimpang dari tujuan terselenggaranya penyiaran di Indonesia. Dalam undang-undang penyiaran disebutkan bahwa Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. “Pemanfaatan yang dilakukan pemilik lembaga penyiaran pada lembaga penyiaran yang dimiliki untuk kepentingan politik, menunjukkan penyimpangan dari maksud undang-undang,” ujarnya.
Untuk itu Idy berharap lembaga penyiaran meningkatkan profesionalisme dan komitmennya terhadap kepentingan publik. “ Semoga tahun ini lembaga penyiaran berlaku lebih baik dengan mematuhi regulasi penyiaran dan tidak berorientasi pada keuntungan sesaat semata,” pungkasnya.