Oleh: S Sinansari ecip
(Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

CONTOH pelanggaran tayangan TV yang baru, besar, mendasar, dan menarik adalah bentrokan di Abepura, Kamis (16/3). Keesokan harinya, KPI langsung mengeluarkan teguran keras kepada semua stasiun televisi yang bersiaran nasional dari Jakarta.

Oleh: S Sinansari ecip
(Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

CONTOH pelanggaran tayangan TV yang baru, besar, mendasar, dan menarik adalah bentrokan di Abepura, Kamis (16/3). Keesokan harinya, KPI langsung mengeluarkan teguran keras kepada semua stasiun televisi yang bersiaran nasional dari Jakarta.
Cukup menarik, tanggal 18/3 petang, RCTI menyiarkan teguran ini agar isi teguran dapat membantu meredakan ketegangan di Papua. Apa yang salah dengan tayangan televisi tentang peristiwa di Abepura itu? Pasal 36 UU 32/2002 antara lain melarang siaran yang menghasut dan menonjolkan kekerasan.
Kekerasan yang dilakukan masyarakat dapat ditiru di tempat lain. Polisi yang marah juga dikhawatirkan balas dendam, baik di tempat kejadian maupun di tempat lain.
Sekelompok pasukan polisi ternyata memang kemudian marah, menembak ke atas dan mengenai warga masyarakat(?) Anggota polisi yang lain menyerang wartawan dan merusak peralatannya.
Contoh seperti itu terjadi di Los Angeles, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu. Polisi kulit putih bentrok dengan masyarakat kulit hitam, yang karena tayangan hidup berakibat pada kemarahan warga kulit hitam di tempat lain kepada polisi dan warga kulit putih.
Kejadian demikian tentu tidak kita inginkan terjadi di Indonesia. Di masyarakat negara yang sudah maju seperti AS, kerusuhan bisa merebak dan melebar ke mana-mana dalam waktu pendek lantaran tayangan TV.
Khusus penonjolan tayangan kekerasan ini diancam hukuman denda maksimal Rp 10 miliar dan atau kurungan maksimal lima tahun.

Masyarakat Dilindungi
Regulasi atas isi siaran diperlukan untuk melindungi masyarakat dari informasi yang merusak. Misalnya tayangan porno atau kekerasan yang dapat memengaruhi kepribadian individu khalayaknya atau melindungi dari informasi yang tidak berimbang misalnya pemberitaan terhadap seorang kandidat dalam proses politik (Wolfgang Hoffman-Riem, 1996: 272-280).
Frekuensi milik publik, milik bersama, pemanfaatannya harus sesuai keperluan publik. Media penyiaran tidak boleh menggunakan frekuensinya semata-mata untuk kepentingan komersial.
Berbeda dengan media cetak, dunia penyiaran selalu menjadi perhatian untuk mendapatkan regulasi karena media cetak diarahkan untuk beroperasi pada pasar terbuka, sedang bidang penyiaran merupakan bagian dari sektor publik yang perlu perlindungan dan regulasi.
Sejak tahun 1920-an di Eropa, pemerintah menganggap media penyiaran perlu diregulasi sebagai bagian lain dari infrastruktur telekomunikasi. Dua alasannya menurut sehingga diperlukan regulasi, menurut Jankwoski (1992: 235).
Pertama, regulasi diperlukan karena terbatasnya jumlah frekuensi. Kedua, kuatnya efek media penyiaran dalam mempengaruhi khalayak. Regulasi juga dimaksudkan untuk memudahkan akses terhadap medium penyiaran. Dengan pengaturan yang tepat akan diperoleh informasi yang objektif.
Juga memungkinkan terselesaikannya beberapa problem kelangkaan medium yang dapat memberi beragam informasi yang berorientasi pada public interst (Wolfgang Hoffman-Riem, 1996: 270-271).
Media penyiaran dianggap medium yang secara sosial dapat diterima semua lapisan masyarakat. Di dalam perkembangan menuju masyarakat informasi modern, penyiaran memainkan peranan yang amat signifikan dalam infrastuktur komunikasi (Wolfgang Hoffman-Riem, 1996:1).
Alasan lainnya adalah tampilan isi siaran. Baik di negara yang menerapkan konsep otoritarian ataupun negara yang sangat menghargai demokrasi tetap diperlukan pengaturan tentang tampilan program media penyiaran.
Secara mendasar ada hak yang dimiliki oleh komunikator tetapi perlu juga diperhatikan hak penerima informasi. Ini bukan hanya menyangkut kebebasan menyampaikan informasi, tetapi juga terkait dengan penerimaan terhadap sesuatu yang memberi nilai tersendiri bagi penerima, hingga terjadi balancing of interst, keseimbangan kepentingan (Wolfgang Hoffman-Riem, 1996: 272-273).

Dua Kontrol
Secara mendasar menurut Stan Le Roy Wilson, untuk menghindari kebebasan pers maupun penyiaran yang tak terkendali dan tidak berdampak positif bagi masyarakat diperlukan dua kontrol utama. Kontrol secara filosofis dan kontrol hukum.
Kontrol filosofis media dilakukan secara internal, termasuk pemahaman terhadap teori pers maupun etika pers dan penyiaran. Dalam konsep ini termasuk pula berbagai aturan internal sebuah institusi media.
Sedang yang dimaksud legal kontrol adalah berbagai tatanan yang dilakukan untuk membatasi kebebasan yang tidak bertanggung jawab dari industri penyiaran (Wilson, 1993: 49-73).
Menurut Wolfgang Hoffman-Riem (1996: 281), secara prinsip, terdapat dua tipe regulasi dan kontrol. Pertama, regulasi bersifat imperatif yang dilakukan dengan membuat kontrol atau pedoman perilaku.
Tipe ini terkait pengaturan secara langsung melalui petunjuk, kebutuhan, larangan, dan hal terkait yang dapat diberi sanksi secara langsung. Sebagai contoh, sanksi terhadap tayangan negatif, misalnya mengandung kekerasan, mistis yang kurang mendidik, ataupun porno.
Kedua, regulasi struktural. Pada model ini pemerintah menetapkan suatu bingkai penyiaran yang mengandung struktur tertentu dan dapat memengaruhi secara tidak langsung industri penyiaran dan lembaga lain yang terkait di sektor penyiaran.
Dalam cara ini, ditetapkan berbagai standar tertentu misalnya terkait struktur kemampuan ekonomi dasar, jenis pembiayaan, atau melalui penciptaan aturan khusus terkait organisatoris atau pendirian dan pengelolaan industri penyiaran.
Di setiap media, diperlukan aturan untuk menjadi petunjuk apa yang diperlukan, dilarang, cara melakukan sesuatu, serta mengatur situasi untuk memberi keselamatan, kewajaran, efisiensi, atau ketepatan sesuai yang diinginkan.
Menurut filosof Jerman Immanuel Kant, aturan terbagi dua. Pertama, constitutive, yaitu aturan yang memungkinkan pikiran dan tindakan manusia melakukan prainterpretasi tentang dunia melalui konstitusi, penjelasan, atau penggambaran berdasarkan realitas sosial dengan cara tertentu.
Kedua, regulative. Mengatur perilaku sosial dalam sebuah struktur yang biasanya terkait tuntunan atau sanksi dari aktivitas manusia dalam berbagai cara. Regulasi ini lebih bersifat formal dan eksplisit.

Aturan Indonesia
Indonesia sudah mempunyai UU Penyiaran tahun 1997. Tetapi karena isinya tidak sesuai dengan semangat yang tengah berkembang maka diganti dengan UU Penyiaran 2002.
Dalam UU 32/2002 KPI ditugaskan membuat aturan tentang perilaku penyiaran dan isi siaran sehingga lahirlah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).
Perilaku awak stasiun penyiaran perlu diatur dalam kode etik (P3) yang mengandung apa yang boleh dan yang tidak boleh mereka lakukan.
Isi siaran pun harus ditata dalam bentuk aturan yang dibuat KPI berdasar perintah UU32/2002, yaitu SPS. Pelanggaran berakibat pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran.
Tanggal 14 Maret 2006, lahir Kode Etik Jurnalistik (KEJ), perbaikan atas Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), yang lahir tahun 1999. KEJ ini berlaku juga untuk wartawan di media penyiaran.
Jika terjadi pelanggaran, yang melakukan pengawasan akhir adalah Dewan Pers serta diharapkan yang memberikan sanksi adalah organisasi wartawan atau perusahaan media tempat si wartawan bekerja.
Sebetulnya dalam UU32/2002 ada bagian-bagian yang membatasi isi siaran. Jika terjadi pelanggaran, ada sanksi pidana denda dan atau kurungan. Sayangnya, polisi belum bertindak atas pelanggaran yang dilakukan stasiun televisi.
Dampak media sangat luas atau besar, baik yang positif maupun negatif. Dampak negatif harus diminimalisasikan. Peniruan pemirsa berupa tindak kekerasan atau nafsu konsumerisme.
Tayangan TV dapat memobilisasikan massa dalam kaitan politik, seperti dalam proses kampanye pemilihan umum. Itu sekedar menyebutkan beberapa contoh. Khalayak yang heterogen mengharuskan pengelola stasiun TV bertindak hati-hati, termasuk dalam mengisi programnya.

Bukanlah Musuh
Pentingnya peranan media dalam masyarakat menyebabkan perhatain besar dari banyak kalangan untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan media dan bagaimana mengarahkan mereka.
Berbagai tindakan pun dilakukan di berbagai negara, khususnya di AS, mulai dari pembuatan hukum formal oleh legislator hingga penetapan berbagai karakteristik standar teknis di media penyiaran.
Hal tersebut dilakukan misalnya oleh Federal Communication Commisions (FCC ) dengan mendorong adanya self regulation oleh industri penyiaran dengan menetapkan kode etik dan aturan internal kegiatan penyiaran mereka.
Tahun 1996 Telecommunication Act mensyaratkan adanya system V-chip di layar TV penduduk untuk melindungi masyarakat dari tayangan tidak objektif atau program yang kurang mendidik.
Pasal 28E UUD antara lain mengakui bahwa tiap orang berhak menyatakan pikiran (Ayat 2) dan tiap orang berhak mengeluarkan pendapat (Ayat 3). Jaminan konstitusi ini sangat berharga buat masyarakat Indonesia, apalagi kemudian lebih dirinci dalam Pasal 28F.
Bunyinya, "Tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi...." Akses kepada tayangan TV dijamin UUD tetapi pengelola siaran TV harus hati-hati. Jangan fasilitas pinjaman frekuensi digunakan tidak untuk kebaikan masyarakat.
Menjadikan TV sebagai sahabat gampang-gampang sulit. Bagi satu stasiun TV, menyiapkan program yang khas dan diperlukan pemirsanya adalah menu yang memang seharusnya.
Karena pilihan kanal sangat banyak maka pemirsa dengan mudah dapat menggunakan "hak"-nya yang paling hakiki, memilih kanal lain atau mematikannya.
Membuat pemirsa agar tetap kerasan atau at home memang pekerjaan sulit tetapi bukan tidak dapat dilakukan. Dalam 24 jam tayangan tidak mungkin satu stasiun TV menyiapkan semua jamnya dengan tayangan unggulan.
Jika itu terjadi, tidak hanya biaya yang besar diperlukan tetapi juga merampas hak publik untuk melakukan pilihan. Jadikan stasiun TV bukan sebagai musuh. (*)
Source: http://www.tribun-timur.com/view.php?id=20567&jenis=Opini

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.